Stop Berdalih ‘Namanya Juga Anak-anak’, Orang Tua Tidak Boleh Memaklumi Peilaku Anak Yang Membuat Orang Lain Terganggu

  • Bagikan
Ilustrasi Memaklumi Peilaku Anak

FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Menormalisasikan kata 'namanya juga anak-anak', bukanlah pilihan tepat dalam mendidik anak.

Menjadi Orang tua memang bukanlah perkara yang mudah, anak merupakan tanggungjawab penuh apalagi saat usia masih balita atau anak-anak.

Kadangkala kita menemukan kejadian dimana anak-anak melakukan tingkah yang cukup mengganggu oranglain, namun dihiraukan orang tuanya kemudian berkata “ wajar Namanya juga anak-anak”.

Pemakluman demikian akan mempengaruhi karakter anak yang menormalisasikan apa yang dilakukannya, dan tentunya berdampak buruk jika terus dibiarkan.

Disisi lain, pemakluman tersebut akan menunjukkan tanda ketidakpedulian terhadap sesama.

Dimana membiarkan orang lain tidak nyaman dengan perilaku anak yang seharusnya menjadi pengawasan orangtua.

Salah satu contoh, saat di tempat makan kemudian orangtua membiarkan anaknya mengganggu makanan meja orang di sebelahnya yang sama sekali tidak dikenalnya, kemudian tidak melakukan larangan dan memaksa anaknya untuk minta maaf, malah memaklumi dengan pikiran namanya juga anak-anak.

Sebagai orangtua memang perlu ekstra dalam membina dan memberikan nilai-nilai benar atau salah sejak dini.

Pakar psikolog anak sekaligus penulis buku berjudul Raising Kids in the 21st Century, Sharon K. Hall, Ph.D mengungkapkan bersama orang tua anak-anak tahu perbedaan antara yang benar dan yang salah sebelum usia 2 tahun.

Sharon juga mengatakan sejak usia 18 bulan, anak-anak bisa mulai diajarkan nilai-nilai terkait benar dan salah.

Jadi, tidak lagi ada alasan bagi orang tua mengatakan ‘Namanya juga anak-anak’, sebab sejak dini anak sudah bisa diajarkan mana yang salah dan mana yang benar.

Adapun dampak negative yang ditimbulkan diantaranya:

  1. Etika buruk

Menormalisasi kesalahan anak dengan kalimat ‘Namanya juga anak-anak’ justru akan membuat anak memiliki etika yang buruk.

Anak akan merasa semua yang dilakukan atau diucapkan selalu benar.

Hal ini tentu berdampak ketika ia mulai terjun ke lingkungan sosial. Anak akan terlihat liar dan tidak tahu sopan santun.
Misalnya saja anak bisa masuk ke rumah orang lain tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Bisa juga terjadi saat bertamu, anak justru berkeliaran kesana kemari di dalam rumah orang.

Bukan karena masih anak-anak sehingga kesalahan yang dilakukan adalah wajar, tetapi justru karena masih anak-anak mereka butuh diarahkan agar bisa memiliki etika yang baik.

  1. Anak tidak tahu adanya ranah privasi

Jika orang tua selalu mengatakan ‘Namanya juga anak-anak’, maka saat anak membuka kotak mainan mainan milik temannya, yang tertanam dipikiran anaknya adalah membuka barang milik orang lain tanpa izin bukanlah sebuah kesalahan.
Akhirnya, ketika tumbuh dewasa ia bisa saja memakai, meminjam, atau bahkan mengambil barang milik orang lain tanpa sepengetahuan dan seizin pemiliknya.

  1. Anak sulit berempati dengan sekitarnya

Anak-anak yang tidak pernah diajarkan mana yang benar salah, akan sulit berempati dengan orang-orang dan lingkungan sekitarnya.

Mereka akan bertindak semaunya tanpa berpikir tindakannya mungkin menyakiti atau merugikan orang lain.

Terlebih jika orang tua selalu melakukan pembelaan di hadapan anaknya secara langsung dengan dalih ‘Namanya juga anak-anak’.

(Besse Arma/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan