FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Pemotongan anggaran yang dilakukan pemerintah dinilai cacat konstitusi. Itu diungkapkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur menjelaskan, Presiden Prabowo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanda dalam Pelaksanaan APBN serta APBD Tahun Anggaran 2025.
Di dalam Inpres tersebut, Prabowo menginstruksikan lembaga-lembaga negara di tingkat pusat dan daerah untuk memangkas anggaran tahun 2025 sebesar Rp306.695.177.420.000,00 (tiga ratus enam triliun enam ratus sembilan puluh lima milyar seratus tujuh puluh tujuh juta empat ratus dua puluh ribu rupiah).
“Terlihat hendak berhemat, namun kebijakan ini berimplikasi pada melemahnya lembaga-lembaga negara yang penting dalam urusan hak asasi manusia dan pengawasan penegakan hukum,” kata Isnur dikutip dari keterangan resmi.
Ia mengungkap pemangkasan anggaran tersebut telah melanggar aturan atau mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Besaran APBN 2025 diputuskan dalam Undang-Undang No 62 Tahun 2025.
Di Pasal 42, diatur bahwa Pemerintah dapat melakukan penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2025 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan, untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun Anggaran 2O25.
Rencana perubahan tersebut harus diajukan oleh Pemerintah berupa Rancangan Undang-Undang mengenai Perubahan atas Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2025 untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum Tahun Anggaran 2025 berakhir.
“Sehingga, perubahan anggaran dengan dasar Inpres yang baru saja dikeluarkan oleh Prabowo tidak memiliki dasar hukum, sesat, dan cacat konstitusi,” terangnya.
Selain itu, pemangkasan anggaran itu dianggap bisa membunuh lembaga HAM dan demokrasi, serta mengganggu layanan keadilan. Ia memberi contoh, Komnas HAM, anggaran yang semula ditetapkan sebesar Rp112,8 miliar dipangkas sebesar 46% menjadi Rp 52,1 miliar.
Sedangkan anggaran Komisi Yudisial dipangkas sebesar 54,35% dari anggaran semula Rp 184,52 miliar. Berbanding terbalik dengan naiknya anggaran Polri sebesar 7,34% dari tahun sebelumnya.
“Sebuah institusi yang sering dilaporkan ke Komnas HAM oleh masyarakat karena kasus-kasus pelanggaran HAM,” tegasnya.
Pemangkasan ini berdampak pada ketidak mampuan lembaga pengawas hakim ini mengawasi jalannya persidangan di berbagai daerah. Pemangkasan anggaran juga berdampak pada batalnya seleksi calon hakim agung dan hakim ad hoc Mahkamah Konstitusi yang rencananya diselenggarakan tahun ini.
Pemotongan anggaran juga dilakukan di Kemendiktisaintek yang berdampak pada dipotongnya anggaran riset sebesar 20%, serta Kemendikdasmen yang dipangkas sebesar Rp8 triliun. Di sisi lain tiga institusi penegak hukum–Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung–tidak mengalami pemotongan anggaran berbarengan dengan Kementerian Pertahanan dan Badan Intelijen Negara.
Kdepannya, kemungkinan besar Komnas HAM akan menjadi lembaga pemantauan situasi HAM di Indonesia saja karena geraknya akan dibatasi dengan ketiadaan anggaran. Di sisi lain, KY yang juga merupakan anak kandung Reformasi posisinya akan semakin melemah dalam melakukan pengawasan hakim.
“Iklim peradilan di Indonesia tak ubah akan semakin kental serupa masa Orde Baru yang sarat akan KKN. Dua lembaga ini adalah infrastruktur kunci lembaga negara yang selama ini membantu rakyat. Pemangkasan besar-besaran adalah malapetaka bagi situasi hukum dan HAM di Indonesia yang konsekuensinya akan mengganggu layanan keadilan,” jelasnya.
Tidak hanya itu, tidak adanya pemangkasan anggaran di sektor militer atau Kementerian Pertahanan menunjukkan bahwa Prabowo berupaya untuk mengembalikan negara pada dominasi militer. Dengan tidak bisanya ASN bergerak untuk melakukan pelayanan pada masyarakat, militer akan mengambil peran-peran tersebut di tengah sipil.
“Tentara hari ini tengan membentuk 100 pos baru untuk memaksimalkan program MBG. Ini adalah hasil dari naiknya anggaran Kementerian Pertahanan dari Rp139,27 triliun di tahun 2024 menjadi Rp 155 triliun di tahun 2025,” ujarnya.
Program itu dianggap mematikan ekonomi rakyat karena banyak laporan yang menyatakan bahwa UMKM yang memasak pangan di bawah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi tidak dibayar.
“Di saat bersamaan, program-program ini justru menggandeng perusahaan-perusahaan besar seperti Astra dan GoTo,” ucapnya
Dari manuver pemotongan anggaran lembaga pengawas peradilan dan penegakan HAM tersebut, di saat bersamaan menguatkan peran militer di ranah sipil serta penggelembungan anggaran POLRI, kami melihat bahwa Pemerintahan Prabowo mencoba untuk semakin membunuh demokrasi.
“Ciri khas otoritarianisme menghancurkan hak asasi manusia,” pungkasnya.
(Arya/Fajar)