Oleh: Naylawati Bachtiar*
Dalam beberapa dekade terakhir, negara-negara di dunia termasuk di Asia Tenggara, berlomba-lomba untuk menciptakan transportasi publik yang berkualitas.
Malaysia muncul dan menempatkan dirinya sebagai negara yang berhasil menciptakan mode transportasi publik yang berkualitas bagi masyarakatnya. Sementara itu, di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam penyediaan transportasi publik yang berkualitas dan memadai.
Memasuki pusat kota Malaysia- Kuala Lumpur, kita akan diperlihatkan dengan mobilitas masyarakat yang tinggi dengan mengandalkan transportasi publik untuk bepergian, disamping masih banyak pula masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi. Tapi, kita akan sangat jarang melihat kendaraan jenis motor disana.
Sebaliknya, di kota-kota besar di Indonesia termasuk Makassar, masyarakat masih sangat mengandalkan transportasi pribadi untuk mobilitasnya. Terlebih keberadaan kendaraan jenis motor, masih menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat.
Kondisi tersebut pada akhirnya menimbulkan kemacetan yang menjadi masalah di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia. Jika dibandingkan dengan Malaysia, kondisi kemacetan juga masih terjadi.
Tetapi, yang cukup mengherankan masyarakat disana mengambarkan kemacetan jika kendaraan telah memenuhi jalan raya namun masih bisa dilalui dengan kecepatan yang masih terbilang standar.
Sementara di kota-kota besar di Indonesia, bahkan kemacetan seringkali membuat kendaraan tidak bergerak dalam radius beberapa km pada waktu tertentu.
Pemerintah Malaysia menunjukkan keseriusannya dalam mengurai masalah kemacetan, salah satunya penyediaan transportasi publik yang mudah, efisien, nyaman dengan harga terjangkau.
Dari segi harga, Pemerintah Malaysia berkomitmen untuk menyediakan transportasi publik yang murah. Misal jika kita bandingkan antara MRT KL dengan LRT Jakarta, dimana MRT KL sangat murah yakni hanya RM 1.20 atau sekitar dengan Rp.3.500 hingga RM 6.40 atau sekitar Rp.19.000. Tarif ini sangat murah dibanding negara lainnya.
Berbeda misalnya dengan LRT Jabodetabek, dimana penghitungan tarif LRT ini didasarkan pada jarak, dengan tarif dasar Rp. 5.000 untuk 1 KM pertama dan Rp.700 untuk km berikutnya.
Saya mencoba mengunjungi salah satu tempat pusat perbelanjaan bagi banyak para wisatawan yaitu kawasan Bukit Bintang. Kami memilih menggunakan KL Monorail/MRT dengan titik start dari Stasiun Titiwangsa. Untuk sampai ke tujuan, kereta akan melewati 4 stasiun (jarak antar stasiun 1 Km) lainnya hingga sampai ke Stasiun Bukit Bintang dengan hanya membayar kurang lebih RM 3.00 atau sekitar Rp. 9.000/orang.
KL Monorail ini terlihat sangat tertata dengan kondisi didalam yang sangat nyaman bagi penggunanya. Tidak ada gambaran berdesak-desakan seperti yang banyak terlihat pada jam-jam sibuk di kota-kota besar di Indonesia, khususnya Jakarta, dimana KRL sangat dipadati masyarakat, bahkan banyak pengunjung yang berdiri dan kerap kali hingga terhimpit atau jatuh. Meskipun sebenarnya terdapat opsi untuk naik LRT yang bagi sebagian orang harganya jauh lebih mahal.
Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia untuk menyediakan transportasi yang nyaman namun tetap dengan harga yang terjangkau.
Selain itu, para wisatawan dapat memanfaatkan tiket kartu yang disebut dengan Mytourist Pass. Tiket tersebut memiliki akses tak terbatas untuk semua transportasi umum dengan tarif yang murah dengan durasi perjalanan tertentu.
Hal ini membantu para wisatawan dapat menikmati beberapa tempat wisata ataupun perbelanjaan di sekitar Kuala Lumpur, Selangor dan Putrajaya, dengan tidak kerepotan membeli banyak tiket.
Ini menunjukkan komitmen pemerintah Malaysia dalam mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, disamping untuk mempromosikan pariwisata berkelanjutan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Malaysia.
Di Indonesia sendiri khususnya Jakarta pada dasarnya telah menunjukkan hal yang positif dalam aspek yang sama dengan hadirnya Jakarta Tourist Pass, namun hal ini perlu untuk lebih ditingkatkan kualitasnya dan dapat dibuat secara teritegrasi di Indonesia.
Tentu, Malaysia juga menghadapi berbagai tantangan dalam mewujudkan transportasi publik yang lebih berkualitas. Akan tetapi, berbagai capaian dan hal baik lainnya perlu dicontoh.
Malaysia telah bergerak menuju tren positif sebagai negara dengan transportasi publik yang berkualitas dengan sistem perencanaan yang matang, investasi yang cukup, keterlibatan sektor swasta, dan pengembangan sistem transportasi publik yang pesat.
Sebagai negara tetangga dengan potensi dan tantangan yang hampir sama, Indonesia perlu terinspirasi dari Malaysia untuk mewujudkan transportasi publik yang lebih baik. Tidak ada alasan untuk lebih tertinggal, sebab potensi dan peluang yang ada semakin besar. (*)
*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Unhas / Peneliti Public Policy Network