Danantara di Bawah Kendali DPR? Gigin Praginanto: Konspirasi Terbesar untuk Gerogoti Uang Rakyat

  • Bagikan
Gigin Praginanto

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Kebijakan Publik, Gigin Praginanto, mengkritik keras pembentukan Danantara, menyebutnya sebagai konspirasi terbesar dalam sejarah Indonesia yang berpotensi menggerogoti uang rakyat.

Dikatakan Gigin, mekanisme pengelolaan Danantara yang menempatkan aset negara dalam satu brankas besar dan hanya bisa diaudit atas izin DPR merupakan bentuk penguasaan terstruktur oleh kelompok tertentu.

"Danantara adalah buah konspirasi terbesar dalam sejarah Indonesia untuk menggerogoti uang rakyat," ujar Gigin di X @giginpraginanto (19/2/2025).

Gigin mengatakan, mereka mengumpulkan aset negara di satu brankas raksasa dan hanya dikuasai kelompoknya sendiri.

Lebih lanjut, Gigin menyoroti langkah Presiden terpilih Prabowo Subianto yang berencana membentuk koalisi permanen di pemerintahan dan DPR.

"Prabowo mau membentuk koalisi permanen untuk menguasai pemerintah dan DPR," cetusnya.

Gigin bilang, langkah ini bertujuan untuk memastikan kendali penuh atas Danantara dan dana yang dikelolanya.

"Maka, koalisi yang lebih tepat disebut komplotan politik ini bisa menguasai sepenuhnya Danantara yang mengelola belasan ribu triliun uang rakyat," imbuhnya.

Ia juga menyoroti mekanisme pengelolaan dividen dari bank-bank milik pemerintah yang akan dikumpulkan dalam Danantara.

"Dividen bank pemerintah dikumpulkan di Danantara yang hanya boleh diaudit berdasarkan ijin dari DPR," tandasnya.

Menurutnya, aturan bahwa audit hanya bisa dilakukan atas izin DPR semakin menunjukkan adanya upaya penguasaan penuh tanpa mekanisme pengawasan yang transparan.

"Ini namanya penggarongan secara terstruktur dan massif," kuncinya.

Terpisah, Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ferdinand Hutahaean, memberikan tanggapan kritis terkait langkah Presiden Prabowo Subianto yang disebut akan memodali Danantara melalui pemotongan anggaran.

Ferdinand menyoroti kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang diperkirakan mengalami defisit sebesar Rp600 triliun.

"Anggaran 2025 itu defisit 600 T (kalau tidak salah)," ujar Ferdinand di X @ferdinand_mpu (18/2/2025).

Dikatakan Ferdinand, penghematan sebesar Rp350 triliun yang direncanakan tidak akan mampu menutupi defisit tersebut.

"Jadi penghematan 350 T tak mampu berbuat apa-apa, tetap saja utang nantinya," ucapnya.

Ia juga menyoroti bahwa APBN 2025 awalnya diproyeksikan mencapai Rp3.600 triliun dengan defisit Rp600 triliun.

"APBN 2025 awalnya diproyeksikan Rp3600 T dengan defisit Rp600 T," tandasnya.

Dengan kondisi tersebut, ia mempertanyakan bagaimana penghematan anggaran bisa menjadi modal tanpa harus berutang

"Jadi penghematan yang mana bisa jadi modal? Tetap ngutang," kuncinya.

Sebelumnya, Sutradara film Dirty Vote, Dandhy Laksono, kembali melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan ekonomi yang diwariskan oleh mantan Presiden Jokowi.

Ia menyoroti program efisiensi anggaran yang disebut-sebut untuk mendukung program makan gratis sebesar Rp70 triliun.

"Efisiensi anggaran sering dikatakan demi program makan gratis (70 triliun)," ujar Dandhy di X @DandhyLaksono (18/2/2025).

Padahal, kata dia, anggaran terbesar justru dialokasikan untuk Danantara, yang mencapai Rp325 triliun.

Kata Dandhy, cara ini mirip dengan strategi yang digunakan oleh Jokowi dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Isu pengangguran dijadikan alasan untuk meloloskan kebijakan yang justru memperkuat oligarki dan konglomerasi.

"Trik ini dipakai Jokowi, mencatut nasib pengangguran untuk meloloskan UU yang memperkuat oligarki dan konglomerasi pakai narasi Cipta Kerja," lanjut Dandhy.

Alih-alih menciptakan lapangan kerja, Dandhy justru melihat bahwa pasca-implementasi UU tersebut, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin sering terjadi.

"Setelah UU ini kita lebih sering dengar kabar PHK," cetusnya.

Tak hanya itu, Dandhy juga menyoroti sejumlah kasus keuangan negara seperti Jamsostek, Asabri, Tapera, hingga rencana pemerintah yang sempat mengincar dana haji dan wakaf.

"Dengan rekam jejak kasus Jamsostek, Asabri, gagasan Tapera, sampai mengincar dana haji dan wakaf," imbuhnya.

Dandhy bilang, kebijakan Danantara bisa berpotensi menjadi bentuk baru dari "fraud terpimpin" di bawah kendali kekuasaan.

"Danantara bukan hanya kapitalisme terpimpin, juga berpotensi jadi fraud terpimpin," kuncinya.

(Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan