Lemahnya Tata Kelola BUMN, Hardjuno Prediksi Danantara Berisiko Lebih Buruk dari BLBI

  • Bagikan
Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho (ist)

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Skandal dugaan korupsi di PT Pertamina Persero yang mencapai Rp 968,5 triliun semakin menegaskan lemahnya tata kelola keuangan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Namun, menurut pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho, ancaman yang lebih besar justru mengintai dari pengelolaan aset raksasa di bawah Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara).

Ia menilai, potensi korupsi di lembaga tersebut bisa melampaui berbagai skandal keuangan sebelumnya, termasuk kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan obligasi rekapitalisasi BLBI yang nilainya mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun.

"Kata kuncinya adalah kelemahan dalam tata kelola aset negara. Ini bisa menjadi ladang korupsi sistemik yang merugikan rakyat dalam skala besar. Preseden korupsi di pemerintahan dan BUMN sulit membuat kita percaya begitu saja pada Danantara," ujar Hardjuno di Jakarta, Jumat (28/2).

Ia menyoroti bahwa skandal BLBI dan obligasi rekapitalisasi masih menyisakan banyak tanda tanya terkait pemulihan aset negara. Sementara itu, kasus-kasus korupsi besar lainnya di BUMN dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pola yang berulang.

Misalnya, dugaan korupsi dalam tata niaga timah di PT Timah yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 300 triliun, penyerebotan lahan ilegal oleh PT Duta Palma Group yang menyebabkan kerugian Rp 78 triliun, serta proyek kilang minyak PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang menelan Rp 37,8 triliun.

Tak hanya itu, skandal korupsi dana pensiun militer di PT Asabri mengakibatkan negara kehilangan Rp 22,7 triliun, sementara investasi bodong di PT Jiwasraya merugikan negara hingga Rp 16,8 triliun. Kasus ekspor minyak sawit mentah pun menyebabkan kerugian sebesar Rp 12 triliun.

Bahkan, dugaan korupsi dalam pengadaan pesawat CRJ 1000 dan ATR 72600 untuk Garuda Indonesia ditaksir mencapai Rp 9,7 triliun, serta proyek BTS 4G yang merugikan negara Rp 8 triliun.

“Semua kasus ini menunjukkan bagaimana lemahnya pengawasan terhadap keuangan negara dapat menggerogoti aset yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat,” tandas Hardjuno.

Danantara, yang memiliki mandat mengelola aset negara dalam jumlah sangat besar, menurut Hardjuno, justru berisiko menjadi skandal keuangan terbesar di Indonesia. Minimnya transparansi serta lemahnya sistem audit membuka peluang penyimpangan yang bahkan bisa lebih besar dibandingkan kasus Pertamina.

"Jika BLBI dan obligasi rekapitalisasi saja menyisakan lubang hitam keuangan yang sulit ditelusuri, maka Danantara—dengan portofolio aset yang lebih luas—bisa menjadi bom waktu yang lebih berbahaya bagi keuangan negara," tegasnya.

Hardjuno menekankan pentingnya pengawasan ketat dalam pengelolaan aset negara agar tidak jatuh ke tangan para politisi yang hanya mencari keuntungan pribadi. Ia mengingatkan bahwa negara harus menyerahkan pengelolaan Danantara kepada profesional yang memiliki rekam jejak bersih dan berintegritas, serta memastikan auditnya dilakukan oleh akademisi dan pakar independen.

“Jangan sampai Danantara jatuh ke tangan orang-orang yang hanya mencari keuntungan pribadi. Kita membutuhkan sistem audit profesional yang diawasi oleh publik, serta media yang berani mengungkap kebenaran. Jika dibiarkan, Danantara bisa menjadi salah satu bencana keuangan terbesar bagi bangsa ini,” tegasnya.

Selain itu, Hardjuno juga menyoroti potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan Danantara. Menurutnya, tanpa filter yang kuat, politisi dan pihak berkepentingan dapat dengan mudah menyalahgunakan aset tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Tanpa pengawasan yang jelas, praktik penyelewengan dana pun akan semakin sulit diungkap.

“Kita butuh transparansi penuh dalam pengelolaan Danantara, di mana publik memiliki akses terhadap laporan pengelolaan aset untuk mencegah penyimpangan. Audit independen secara reguler juga harus dilakukan oleh lembaga independen guna menghindari konflik kepentingan,” papar Hardjuno.

Ia menegaskan bahwa penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk mencegah Danantara menjadi episentrum korupsi baru. Skema pencegahan dan sanksi berat bagi pelaku korupsi harus diperketat. Partisipasi masyarakat dalam mengawasi pengelolaan aset negara juga menjadi faktor krusial dalam menjaga integritas keuangan negara.

“Akademisi, jurnalis investigatif, dan organisasi masyarakat sipil harus dilibatkan dalam upaya transparansi ini. Jika tidak, Indonesia berisiko menghadapi skandal keuangan terbesar dalam sejarahnya,” pungkas Hardjuno. (zak/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan