Telur Kasuari Jadi Simbol Ancaman bagi Hutan Papua, Dandhy Laksono Beri Komentar Menohok Soal Food Estate

  • Bagikan
Sutradara Film Dirty Vote, Dandhy Laksono (Foto: Instagram @dadhy_laksono)
Sutradara Film Dirty Vote, Dandhy Laksono (Foto: Instagram @dadhy_laksono)

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Jurnalis senior Dandhy Laksono membagikan pengalaman uniknya saat berada di hutan Merauke dalam rangka Ekspedisi Indonesia Biru pada 2015 lalu.

Dalam unggahannya di Instagram, Dandhy bercerita bagaimana dirinya ditawari telur burung kasuari oleh pemburu setempat untuk dibuat telur dadar.

Ketika diberikan telur tersebut, Dandhy mengaku merasa tidak tega.

“Saya bilang, Tra tega e," tulisnya dalam unggahan itu.

Namun, pemburu lokal menanggapinya dengan santai. “Ah, tra papa. Banyak di hutan,” jawab mereka.

Meski mendapatkan izin dari warga setempat, Dandhy tetap mengembalikan telur tersebut ke alam. Namun, hingga kini ia masih menyesali keputusannya.

Pengalaman ini, kata Dandhy, menggambarkan bagaimana hutan di Papua menjadi sumber pangan utama bagi masyarakat adat.

Namun, ia juga menyoroti ancaman yang kini dihadapi ekosistem tersebut.

"Inilah yang akan musnah ditumpas proyek food estate 2 juta hektare. Hutan adalah food estate dan supermarket bagi mereka yang hidup di sekitarnya," tandasnya.

Proyek food estate yang direncanakan pemerintah disebut-sebut akan menggantikan fungsi hutan alami dengan kawasan pertanian skala besar.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan ekosistem serta mata pencaharian masyarakat adat yang selama ini bergantung pada hasil hutan.

Cerita ini menjadi pengingat bahwa bagi masyarakat adat Papua, hutan bukan sekadar lahan kosong yang siap digarap, tetapi supermarket alami yang menyediakan makanan dan kehidupan bagi mereka.

Sebelumnya, Politikus dan aktivis Syahganda Nainggolan memberikan pandangannya terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) food estate seluas dua juta hektare di Merauke, Papua Selatan.

Ia menekankan pentingnya penggunaan teknologi modern dalam pengembangan proyek tersebut, serta mengingatkan dampaknya terhadap masyarakat adat Papua.

Hal ini diungkapkan Syahganda saat hadir di acara podcast Bambang Widjojanto belum lama ini.

"Teknologi sekarang sudah maju. Kita lihat di Israel, Singapura, negara-negara kecil itu, teknologi pertaniannya luar biasa. Singapura itu pertaniannya di gedung-gedung. Jangan lagi kita terjebak pada satuan tanah," ujar Syahganda (15/1/2025).

Ia mengkritik pendekatan konvensional yang masih bergantung pada penguasaan lahan luas untuk sektor pertanian.

Menurutnya, solusi harus mengarah pada pemanfaatan teknologi agar tanah sempit tetap dapat menghasilkan secara optimal.

"Kita harus bicara teknologi, bagaimana memanfaatkan tanah yang tidak begitu luas tapi hasilnya bisa melimpah," tambahnya.

Syahganda juga menyoroti dampak sosial dari proyek tersebut terhadap masyarakat adat Papua.

Ia khawatir proyek food estate akan membawa migrasi penduduk dari luar Papua, seperti orang Jawa atau Bugis, yang berpotensi menggusur masyarakat lokal.

"Masuk ke Papua dan menguasai jutaan hektare itu perlu hati-hati. Orang Papua nanti bukan nggak mau kalian datang, tapi kalian datang kan bawa orang Jawa, orang Bugis," sebutnya.

"Masyarakat adat asli takutnya tergusur. Itu yang sudah terjadi di Sumatera," tegasnya.

Ia menekankan pentingnya langkah antisipatif dalam pelaksanaan proyek ketahanan pangan seperti food estate ini.

"Memang itu jarang diantisipasi, makanya kedepan harus hati-hati ketika program ketahanan pangan, rakyat harus gimana gitu loh," kuncinya.

(Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan