FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Kasus mega korupsi di PT Pertamina terkait oplos bahan bakar belum juga tuntas, kini muncul kasus baru terkait penyalahgunaan BBM Subsidi dalam hal ini BBM jenis solar.
Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri berhasil mengungkap kasus penyelewengan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar subsidi di Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Pengungkapan ini berawal dari laporan polisi bernomor LP/A/109/XI/2024 yang diterima pada 14 November 2024.
Dirtipidter Bareskrim Polri, Brigjen Nunung Syaifuddin, menjelaskan bahwa dalam penyelidikan, pihaknya menemukan sebuah gudang penampungan BBM ilegal yang berlokasi di Lorong Teppoe, Kelurahan Balandete, Kecamatan Kolaka.
"Setelah melalui serangkaian penyelidikan oleh unit 5 Subdit 1 Dittipidter Bareskrim Polri, telah ditemukan kegiatan di gudang penampungan BBM subsidi ilegal," ujar Nunung, dikutip Kamis (6/3/2025).
Dalam penggerebekan tersebut, polisi menyita sejumlah barang bukti, termasuk tiga truk tangki, beberapa tandon berisi solar subsidi yang telah disalahgunakan, serta peralatan untuk memindahkan dan menjual BBM tersebut secara ilegal.
Penyidikan mengungkap keterlibatan empat orang dalam kasus ini.
Mereka adalah BK, yang diduga sebagai pengelola gudang penimbunan tanpa izin, A, pemilik SPBU-Nelayan di Kecamatan Poleang Tenggara, Kabupaten Bombana, T yang bertanggung jawab atas armada truk pengangkut, serta seorang oknum pegawai PT Pertamina Patra Niaga yang diduga membantu dalam proses penebusan BBM subsidi ke PT Pertamina.
"Selain itu, ada pula dugaan keterlibatan saudara T, yang bertanggung jawab atas penyediaan armada truk pengangkut, serta oknum pegawai PT PPN (Pertamina Patra Nigara) yang diduga memberikan perbantuan dalam proses penebusan BBM subsidi ke PT Pertamina," ungkap Nunung.
Para pelaku diduga menggunakan modus memindahkan solar subsidi dari truk tangki yang seharusnya dikirim ke SPBU dan SPBU-Nelayan ke gudang ilegal.
Selanjutnya, BBM tersebut dipindahkan ke tangki industri dan dijual dengan harga non-subsidi.
"Solar subsidi yang seharusnya dijual Rp6.800 per liter, oleh para pelaku dijual seharga Rp19.300 kepada perusahaan tambang," jelas Nunung.
Dalam proses penyelewengan, pemilik SPBU dan SPBN menggunakan ID khusus yang terkoneksi dengan aplikasi My Pertamina untuk melakukan pembayaran ke PT Pertamina Patra Niaga.
Solar subsidi kemudian diangkut menggunakan truk tangki milik PT Elnusa Petrofin yang dilengkapi sistem Global Positioning System (GPS).
Namun, untuk mengelabui sistem, para pelaku mematikan GPS truk selama dua jam lebih, sehingga dapat melakukan pemindahan BBM ke gudang ilegal.
"Modus mematikan GPS dalam jangka waktu 2 jam dan 27 menit tersebut diduga terjadi pemindahan isi muatan BBM subsidi dari tangki merah ke tangki biru yang berlangsung di gudang ilegal penimbunan BBM saudara BKR," tambahnya.
Berdasarkan penyelidikan, kejahatan ini telah berlangsung selama dua tahun dan menyebabkan kerugian negara yang cukup besar.
"Dengan asumsi sesuai dengan data buku yang kita dapat di gudang bahwa dalam sebulan mereka bisa mendapatkan 350.000 liter, maka sebulan kita kalikan Rp12.550 dengan 350.000 liter, maka keuntungannya ada Rp4.392.500.000," terang Nunung.
"Kalau dalam dua tahun, maka total kerugian negara mencapai Rp105.420.000.000," lanjutnya.
Saat ini, keempat terduga pelaku masih berstatus saksi dan akan segera menjalani pemeriksaan lebih lanjut dalam pekan ini.
"Jadi 4 terduga pelaku ini statusnya masih saksi. Dan dari timeline penyidikan kita, minggu ini kita akan periksa mereka. Begitu kita periksa mereka, kita bisa langsung melaksanakan gelar perkara untuk menentukan siapa yang bisa ditetapkan sebagai tersangka," pungkas Nunung.
Sementara itu di Tuban dan Karawang, Polri juga menangkap delapan orang terkait kasus serupa.
Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri membongkar kasus penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar subsidi di dua lokasi, yakni Tuban, Jawa Timur, dan Karawang, Jawa Barat.
Para pelaku diduga memanfaatkan barcode MyPertamina secara ilegal untuk memperoleh solar subsidi dalam jumlah besar.
Dirtipidter Bareskrim Polri, Brigjen Nunung Syaifuddin, mengungkapkan bahwa terdapat delapan tersangka dalam kasus ini.
Tiga tersangka yang beroperasi di Tuban berinisial BC, K, dan J, sementara lima tersangka lainnya di Karawang berinisial LA, HB, S, AS, dan E.
Meskipun mereka tergabung dalam kelompok berbeda, keduanya menerapkan modus yang serupa dalam menjalankan aksinya.
Menurut Brigjen Nunung, di Tuban, para pelaku menggunakan kendaraan yang sama untuk berulang kali membeli solar subsidi dari SPBU. Mereka memanfaatkan 45 barcode MyPertamina yang berbeda, semuanya tersimpan dalam ponsel milik tersangka BC.
"Untuk di TKP Tuban, Jawa Timur, melakukan pengambilan dan pengangkutan BBM jenis solar dari SPBU dengan menggunakan kendaraan yang sama secara berulang, dan menggunakan 45 barcode (My Pertamina) yang berbeda," ungkapnya dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (6/3/2024).
Sementara itu, di Karawang, sindikat ini diduga mengurus surat rekomendasi pembelian solar bagi petani dan warga di kantor kelurahan.
Rekomendasi ini digunakan untuk mendapatkan barcode MyPertamina yang kemudian dikumpulkan dan dipakai dalam pembelian serta pengangkutan solar subsidi dari SPBU.
"Di Karawang modusnya membuat dan mengurus surat rekomendasi pembelian solar bagi petani dan beberapa orang warga di kantor kelurahan desa untuk memperoleh barcode MyPertamina," lanjut Nunung.
Para pelaku membeli solar subsidi dengan berbagai barcode yang mereka miliki, kemudian mengumpulkannya sebelum menjualnya kembali dengan harga non-subsidi.
"Pasti untuk wilayah industri biasanya ya, untuk industri, untuk alat berat, dan kegiatan-kegiatan yang menggunakan solar industri, dengan solar harga industri," jelas Nunung.
Penyelidikan mengungkap bahwa sindikat di Tuban telah beroperasi selama lima bulan, sedangkan kelompok di Karawang telah menjalankan aksinya selama satu tahun.
"Jadi total dari perkara ini keuntungan yang mereka peroleh lebih kurang Rp 4.416.000.000 (empat miliar empat ratus enam belas juta rupiah)," ujar Nunung.
Tersangka BC di Tuban bertindak sebagai pengambil BBM jenis solar dari SPBU menggunakan mobil yang telah dimodifikasi. Ia juga menyewakan lahan miliknya untuk digunakan sebagai tempat penyimpanan dan pemindahan solar subsidi.
Sementara itu, tersangka K dan J berperan sebagai sopir dan kernet yang bertugas mengangkut serta mendistribusikan solar yang telah dikumpulkan.
Nunung mengungkap bahwa dalam proses pemindahan solar subsidi, para pelaku menggunakan pompa atau sibel untuk mentransfer BBM dari kempu ke truk tangki. Proses ini dilakukan oleh dua orang yang saat ini masih buron.
"Jadi, ada dua DPO (daftar pencarian orang) untuk TKP (kasus penyalahgunaan BBM jenis solar bersubsidi) di Tuban," ujarnya.
Di Karawang, tersangka E membeli solar subsidi dari SPBU menggunakan metode yang sama, yaitu dengan kendaraan yang sama secara berulang dan berbagai barcode berbeda. Solar yang dibeli kemudian ditampung dan dijual dengan harga lebih tinggi dari harga subsidi.
Sementara itu, tersangka LA, S, AS, dan HB bertindak sebagai pembeli dan pengangkut solar subsidi tanpa melakukan pembayaran secara tunai. Mereka menggunakan barcode yang berbeda-beda dalam transaksi nontunai atau transfer.
Nunung menduga sindikat ini telah bekerja sama dengan operator SPBU dalam memperoleh barcode tersebut.
"Nah, ini yang akan kita dalami peran dari pihak SPBU," tuturnya.
Delapan tersangka yang telah diamankan kini mendekam di rumah tahanan (rutan) Bareskrim Polri.
Mereka dijerat Pasal 40 Angka IX Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara serta denda hingga Rp60 miliar.
"Dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun serta denda paling banyak Rp 60 miliar," pungkas Nunung. (bs-sam/fajar)