Ia juga menyoroti bahwa banyak kasus korupsi berkaitan erat dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti kasus PT Timah dan skandal pertambangan lainnya. Padahal, UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) menegaskan bahwa sumber daya alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir orang.
“Korupsi di sektor sumber daya alam ini ironis. Kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat malah dikuasai oleh segelintir elite. Jika RUU Perampasan Aset disahkan, ini bisa menjadi langkah strategis untuk mengembalikan aset negara yang telah dijarah,” ujarnya.
Hardjuno menegaskan bahwa pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset. Ada dua faktor utama yang harus dipastikan agar aturan ini benar-benar berjalan: komitmen politik yang kuat dan independensi aparat hukum.
“RUU Perampasan Aset ini ibarat pisau tajam. Jika berada di tangan yang tepat, bisa digunakan untuk memberantas korupsi dari akar. Namun, jika penegak hukum masih bisa diintervensi, aturan ini bisa saja mandul atau bahkan disalahgunakan,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya memperkuat lembaga antikorupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami pelemahan sistematis.
“Selain mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset, kita juga harus mengembalikan independensi KPK yang selama ini tergerus. Tanpa KPK yang kuat dan independen, aturan sehebat apa pun tidak akan efektif,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Hardjuno mengajak masyarakat untuk terus mengawal isu ini agar tidak tenggelam dalam dinamika politik yang penuh kepentingan.