Mandeknya Penanganan Kasus Korupsi oleh APH

  • Bagikan
Dr Rahman Syamsuddin

Oleh: Rahman Syamsuddin
(Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar)

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Dalam perspektif akademik dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, terdapat beberapa aspek penting yang harus dikaji lebih dalam terkait dengan stagnasi (mandeknya) penanganan kasus korupsi oleh Aparat Penegak Hukum (APH).

Adapun Mandeknya Penanganan Korupsi dapat terjadi di beberapa tahap, antara lain:

a. Tahap Penyelidikan dan Penyidikan (Pasal 6 dan Pasal 7 UU Tipikor)

APH yang berwenang (seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan) sering menghadapi kendala dalam mengumpulkan alat bukti, khususnya dalam kasus korupsi yang melibatkan modus kompleks seperti pencucian uang atau penggunaan pihak ketiga (nominee).

Intervensi politik atau tekanan dari pihak tertentu dapat menghambat proses penyelidikan. Hal ini menjadi kendala proses penyidikan dan penyelidikan oleh APH dan KPK.

b. Tahap Penuntutan (Pasal 14 KUHAP & Pasal 17 UU Tipikor)

Jaksa sering menghadapi tantangan dalam pembuktian di pengadilan, terutama dalam kasus korupsi yang melibatkan kejahatan terorganisir.

Kasus yang ditangani bisa saja dikategorikan sebagai perkara ringan sehingga kadang tidak diprioritaskan untuk segera diselesaikan.

c. Tahap Peradilan dan Eksekusi Putusan (Pasal 18 UU Tipikor)

Putusan pengadilan terkadang tidak menimbulkan efek jera karena hukuman yang relatif ringan.

Penyitaan dan perampasan aset hasil korupsi masih menghadapi kendala hukum dan teknis. Seyogyanya RUU perampasan aset segera diterbitkan.

Adapun faktor yang menyebabkan penanganan kasus korupsi sering mengalami stagnasi yakni:

a. Kelemahan dalam Pembuktian

Pasal 26A UU Tipikor menyebutkan bahwa perhitungan kerugian negara dapat dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi sering terjadi perbedaan interpretasi antara lembaga auditor negara dan APH dalam menentukan nilai kerugian.

Penggunaan alat bukti seperti pemeriksaan ahli, dokumen keuangan, atau rekaman transaksi elektronik kadang tidak cukup untuk menjerat pelaku utama.

b. Intervensi Politik dan Lemahnya Independensi APH

Pasal 3 UU Tipikor mengatur bahwa penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara bisa dikategorikan sebagai korupsi, tetapi dalam praktiknya, pejabat tinggi sering mendapat perlindungan dari kelompok politik atau jaringan kekuasaan yang berkuasa.

Revisi UU KPK pada 2019 juga dianggap telah melemahkan independensi KPK dalam menangani kasus korupsi besar. Penolakan yang dilakukan sejumlah masyarakat tidak ditanggapi oleh pemerintah.

c. Kendala dalam Pemulihan Aset (Asset Recovery)

Pasal 18 UU Tipikor menegaskan bahwa aset hasil korupsi harus disita dan dikembalikan kepada negara, tetapi implementasinya sering menemui hambatan.

Banyak aset yang sudah dialihkan ke pihak ketiga atau disembunyikan di luar negeri, sehingga sulit untuk ditelusuri dan dikembalikan.

Seyogya untuk mempermudah APH bekerja perlu di dukung dengan UU Perampasan Aset.

Adapun Solusi dan Rekomendasi Akademik untuk mengatasi stagnasi penanganan korupsi mencakup:

a. Penguatan Penyelidikan dan Penyidikan

APH perlu lebih maksimal dalam menggunakan Pasal 26B UU Tipikor, yang memungkinkan kerja sama dengan lembaga internasional untuk menelusuri aset koruptor yang disembunyikan di luar negeri.

Penggunaan teknologi seperti forensik digital dan artificial intelligence (AI) dalam penelusuran transaksi keuangan.

b. Reformasi Sistem Peradilan dan Penuntutan

Mendorong penerapan Pasal 38C UU Tipikor, yang memungkinkan pembuktian terbalik terhadap tersangka korupsi agar membuktikan asal-usul hartanya.

Meningkatkan hukuman pidana dan perampasan aset agar menciptakan efek jera.

c. Penguatan Peran Masyarakat sebagai civil sociaty

Mendorong pelibatan Pasal 41 UU Tipikor, yang memungkinkan masyarakat berperan serta dalam pengawasan kasus korupsi.

Akademisi dapat mengembangkan kajian hukum progresif yang mendukung perubahan regulasi untuk menutup celah hukum yang sering dimanfaatkan oleh koruptor. Negara wajib memberi ruang Akademis dan bukan mengamputasi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa mandeknya penanganan kasus korupsi bukan hanya disebabkan oleh faktor teknis hukum, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor politik, kelemahan regulasi, dan keterbatasan kapasitas APH.

Oleh karena itu, pendekatan sistemik yang mencakup penguatan regulasi, peningkatan kapasitas APH, transparansi peradilan, serta partisipasi akademisi dan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan pemberantasan korupsi berjalan efektif sesuai amanat UU Tipikor.

Negara pun harus menerima keterlibatan berbagai pihak demi penegakan supremasi hukum. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan