Menurut Denny, salah satu tantangan terbesar Indonesia adalah pemberantasan korupsi yang dinilai belum optimal. Hal ini terlihat dari sejumlah kasus besar yang muncul dalam beberapa waktu terakhir, seperti kasus dugaan korupsi Pertamax oplosan yang merugikan negara Rp 193,7 triliun, serta dugaan korupsi pengelolaan 109 ton emas di PT Antam Tbk.
Selain itu, kasus tata niaga komoditas timah dengan dugaan kerugian Rp 271,07 triliun dalam periode 2015–2022 turut memperburuk citra tata kelola pemerintahan.
“Tanpa komitmen pemberantasan korupsi yang tegas dan berkelanjutan, target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang diusung Presiden Prabowo akan sulit tercapai,” kata Denny.
Ia juga menyoroti efektivitas birokrasi Indonesia yang dinilai kalah jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan.
“Singapura berhasil membangun tata kelola yang efisien dengan birokrasi yang cepat dan transparan. Mereka menerapkan kebijakan tanpa toleransi terhadap korupsi sejak masa kepemimpinan Lee Kuan Yew,” ujar Denny.
Ia juga mencontohkan India yang sukses dengan digitalisasi identitas melalui program Aadhaar, serta Korea Selatan yang berfokus pada pembangunan manusia lewat revolusi pendidikan dan kemajuan teknologi.
“GGI bukan sekadar alat ukur, melainkan peta jalan untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan Indonesia,” katanya.
Dalam jangka panjang, LSI berencana melakukan pengukuran GGI setiap tahun, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di lebih dari 150 negara di dunia. Denny berharap, GGI menjadi salah satu tolok ukur global dalam menilai kualitas pemerintahan suatu negara.