Dampak Food Estate, Dandhy Laksono Ungkap Pertanian Cokelat Organik Papua dalam Bahaya

  • Bagikan
Sutradara Film Dirty Vote, Dandhy Laksono (Foto: Instagram @dadhy_laksono)
Sutradara Film Dirty Vote, Dandhy Laksono (Foto: Instagram @dadhy_laksono)

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Sutradara film 'Dirty Vote', Dandhy Laksono, menyoroti potensi ancaman proyek food estate terhadap pertanian cokelat organik di Papua.

Ia mengungkapkan bahwa beberapa daerah seperti Kampung Berap, Jayapura, telah lama menanam cokelat organik dengan metode tumpang sari, yang menjaga keragaman tanaman.

Dikatakan Dandhy, cokelat hasil tani Papua bahkan telah berhasil menembus pasar internasional, termasuk diekspor ke Jepang.

"Konsep pertanian organik dan tumpang sari jadi daya tarik pasar internasional," ujar Dandhy (12/3/2025).

Namun, ia mengkritik kebijakan pemerintah yang mendorong sistem monokultur dalam proyek food estate.

"Lalu datang pemerintah dengan proyek monokultur food estate," cetusnya.

Menurutnya, sistem ini berpotensi merusak budaya pertanian masyarakat setempat yang telah berlangsung turun-temurun.

"Berpotensi merusak budaya tanam masyarakat," Dandhy menuturkan.

Sebaliknya, Dandhy menilai bahwa produksi massal berbasis mekanisasi pertanian justru memiliki banyak pesaing dan kurang menarik bagi segmen premium tertentu.

"Produksi massal hasil mekanisasi pertanian, justru banyak kompetitornya, dan tak menarik bagi segmen (premium) tertentu," tandasnya.

Sebelumnya, Politikus dan aktivis Syahganda Nainggolan memberikan pandangannya terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) food estate seluas dua juta hektare di Merauke, Papua Selatan.

Ia menekankan pentingnya penggunaan teknologi modern dalam pengembangan proyek tersebut, serta mengingatkan dampaknya terhadap masyarakat adat Papua.

Hal ini diungkapkan Syahganda saat hadir di acara podcast Bambang Widjojanto belum lama ini.

"Teknologi sekarang sudah maju. Kita lihat di Israel, Singapura, negara-negara kecil itu, teknologi pertaniannya luar biasa. Singapura itu pertaniannya di gedung-gedung. Jangan lagi kita terjebak pada satuan tanah," ujar Syahganda (15/1/2025).

Ia mengkritik pendekatan konvensional yang masih bergantung pada penguasaan lahan luas untuk sektor pertanian.

Menurutnya, solusi harus mengarah pada pemanfaatan teknologi agar tanah sempit tetap dapat menghasilkan secara optimal.

"Kita harus bicara teknologi, bagaimana memanfaatkan tanah yang tidak begitu luas tapi hasilnya bisa melimpah," tambahnya.

Syahganda juga menyoroti dampak sosial dari proyek tersebut terhadap masyarakat adat Papua.

Ia khawatir proyek food estate akan membawa migrasi penduduk dari luar Papua, seperti orang Jawa atau Bugis, yang berpotensi menggusur masyarakat lokal.

"Masuk ke Papua dan menguasai jutaan hektare itu perlu hati-hati. Orang Papua nanti bukan nggak mau kalian datang, tapi kalian datang kan bawa orang Jawa, orang Bugis," sebutnya.

"Masyarakat adat asli takutnya tergusur. Itu yang sudah terjadi di Sumatera," tegasnya.

Ia menekankan pentingnya langkah antisipatif dalam pelaksanaan proyek ketahanan pangan seperti food estate ini.

"Memang itu jarang diantisipasi, makanya kedepan harus hati-hati ketika program ketahanan pangan, rakyat harus gimana gitu loh," kuncinya.

(Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan