FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena meluncurkan sebuah gerakan yang bertujuan merayakan para penulis besar dari berbagai provinsi di Indonesia.
Ketua Umum Satupena, Denny JA, mengatakan bahwa provinsi besar juga melahirkan penulis besar yang patut dikenang dan dihidupkan kembali jejak pemikirannya.
“Provinsi yang besar, juga melahirkan penulis besar,” ujar Denny JA dalam keterangan resminya, Kamis (13/3/2025).
Ia menjelaskan, melalui gerakan ini, Satupena mendorong setiap koordinator provinsi untuk memilih satu penulis besar atau inspiratif yang telah wafat.
Penulis itu diharapkan berasal dari daerah tersebut atau memiliki keterikatan mendalam dengan wilayah itu.
“Di setiap tanah, ada kata-kata yang pernah ditanam. Di setiap provinsi, ada suara yang tak hanya menggema di zamannya, tetapi terus beresonansi dalam lembaran sejarah,” kata Denny.
Menurut Denny, gerakan ini menjadi penghormatan, perayaan, sekaligus janji agar karya-karya para penulis terdahulu tetap hidup dan tak terlupakan.
“Mengenang seorang penulis adalah menghidupkan kembali pemikirannya. Mengenang seorang penulis adalah menolak lupa,” ujarnya.
Satupena menegaskan, sastra bukan sekadar rangkaian aksara, melainkan warisan peradaban yang harus dirawat.
Daftar Penulis yang Dikenang
Hingga kini, telah ada belasan nama penulis yang diajukan oleh pengurus Satupena di berbagai provinsi. Beberapa di antaranya adalah:
- Jawa Tengah (Ketua: Gunoto Saparie) → NH Dini
- Sumatra Barat (Ketua: Sastri Bakry) → Buya Hamka
- Jawa Timur (Ketua: Akaha Taufan Aminudin) → Dwianto Setyawan
- Lampung (Ketua: Yusrizal Karana) → Montinggo Busye
- Bali (Ketua: Drs. I. Wayan Suyadna) → Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus
- DKI Jakarta (Ketua: Nia Samsihono) → Ismail Marzuki
- Sumatra Selatan (Ketua: Anwar Putra Bayu) → Bur Rasuanto
- Sumatra Utara (Ketua: Dr. Shafwan Hadi Umri) → BY Tand (Burhanuddin Yusuf Tanjung, Byung Tanjung)
- Riau (Ketua: M. Husnu Abadi, S.H., Ph.D.) → Suman HS
- Papua (Ketua: Vicktor) → Mas Ipong (FX Purnomo)
- Jawa Barat (Ketua: Antonius Wagiyo Topo Aji) → Joko Pinurbo
- Sulawesi Selatan (Ketua: Rusdin Tompo) → Rahman Arge
Tiga kriteria utama menjadi dasar pemilihan, yakni penulis tersebut lahir, berkarya, atau menghabiskan masa tuanya di provinsi yang bersangkutan; telah wafat namun meninggalkan warisan karya yang bertahan; serta dikenal luas di tingkat provinsi, nasional, maupun internasional.
Denny JA mengatakan bahwa penetapan nama ini bukan sekadar proses administratif, melainkan pencarian sosok yang telah membentuk wajah budaya di daerah masing-masing.
Bentuk Perayaan di Daerah
Satupena juga mendorong agar pemilihan nama penulis diikuti oleh berbagai kegiatan penghormatan, seperti:
- Seminar mengenai kehidupan dan karya penulis
- Pameran, peluncuran ulang, atau diskusi atas karya-karya mereka
- Konferensi pers untuk mengenalkan kembali sosok penulis kepada publik
- Pembacaan puisi, cerpen, serta testimoni dari rekan sejawat
- Webinar melalui platform daring
- Kolaborasi dengan pemerintah daerah, komunitas sastra, atau pihak swasta
“Dengan berbagai kegiatan ini, Satupena ingin memastikan bahwa nama-nama tersebut tetap hidup, tak hanya dalam buku-buku lama, tetapi juga dalam ingatan generasi masa kini dan mendatang,” ujar Denny.
Satupena dan Penjagaan Warisan Intelektual
Gerakan penghormatan kepada penulis daerah ini bukanlah program pertama yang dilaksanakan Satupena. Sebelumnya, Satupena telah menerbitkan program 100 Buku yang Membentuk Indonesia, yang mencakup karya-karya dari masa pra-kemerdekaan hingga era modern.
Beberapa karya yang terpilih antara lain Habis Gelap Terbitlah Terang (RA Kartini), Di Bawah Bendera Revolusi (Bung Karno), hingga Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer).
Selain itu, Satupena rutin memberikan penghargaan tahunan bagi para penulis dan menggelar talk show mengenai proses kreatif lebih dari 100 penulis Indonesia.
Tantangan Sastra di Era AI
Di sisi lain, Denny JA menyebutkan bahwa dunia sastra saat ini menghadapi tantangan baru di era kecerdasan buatan (AI).
“Jika dahulu penulis hanya bersaing dengan sesama manusia, kini kata-kata juga lahir dari mesin yang sangat cerdas,” ucapnya.
Meski demikian, menurut Denny, sastra tetaplah napas manusia, bukan sekadar hasil dari susunan algoritma.
“Sastra adalah kesaksian batin, pergulatan jiwa,” kata Denny. “Dan justru di era AI ini, kita perlu mengingat kembali bahwa sastra lahir dari pengalaman manusia.”
Pengelolaan Program
Program ini dikelola oleh Jonminofri sebagai Ketua Harian, Satrio Arismunandar sebagai Sekretaris Jenderal, dan Aji Sulaeman sebagai Bendahara.
Mereka memastikan Satupena tetap menjadi pelita dalam dunia kepenulisan Indonesia, dari Aceh hingga Papua.
“Seorang penulis boleh tiada, tetapi kata-katanya akan terus mengembara,” ujar Denny JA.
Ia menegaskan, perayaan ini bukan sekadar penghormatan atas masa lalu, melainkan komitmen untuk menjaga warisan sastra bagi masa depan bangsa. (*/eds)