FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Melawan lupa tragedi 98, tolak RUU TNI, kembalikan TNI ke barak. Begitu tulisan yang terpampang di Flyover, Jalan AP Pettarani, Kecamatan Panakkukang, kota Makassar, Kamis (20/3/2025).
Spanduk tersebut dipasang oleh massa aksi Koalisi Makassar Tolak RUU TNI saat menggelar aksi di bawah flyover.
Humas Koalisi Makassar Tolak RUU TNI, Ahkamul Ihkam, mengatakan bahwa sejatinya teriakan penolakan telah digaungkan sejak beberapa hari terakhir.
"Kemarin kami diskusi tapi nyatanya DPR RI tidak mengabaikan protes rakyat, di beberapa daerah termasuk Makassar," ujar Ahkamul di lokasi.
Oleh karena seruan yang disampaikan mahasiswa tidak digubris DPR, Ahkamul menekankan bahwa pihaknya kembali turun ke jalan pada Kamis ini.
Meskipun, nyatanya DPR RI dikabarkan telah mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-undang (UU).
"Hari ini kami tetap menyampaikan bahwasanya mereka mengesahkan RUU TNI menjadi UU itu tanpa persetujuan rakyat di beberapa daerah," tukasnya.
Tambahnya, isu yang menurutnya penting untuk digaungkan, bahwa aksi unjuk rasa yang dilakukan itu merupakan bentuk kecintaannya terhadap TNI.
"Kami tolak bukan kami tidak mencintai TNI begitu, karena jangan sampai narasi yang beredar bahwa masa aksi yang datang hari ini tidak mencintai TNI," ucapnya.
"Kami sangat mencintai TNI tapi TNI yang mana, TNI yng profesional yang tidak direndahkan dengan mengurangi kerjaan sipil," tambahnya.
Kata Ahkamul, TNI yang dicintai rakyat, mereka yang selalu siap ketika ada ancaman eksternal dan bisa ditugaskan di mana saja.
"Ketika TNI kemudian menduduki jabatan sipil mereka justru direndahkan dengan mengalihkan tanggungjawab mengalihkan kemampuan mereka ke sektor yang bukan kompetensi mereka," imbuhnya.
Lebih lanjut, Ahkamul menuturkan bahwa pemerintah harus menimbang kembali agar dwifungsi ABRI yang selama ini ditakutkan tidak lahir kembali.
"Seluruh masyarakat Indonesia pernah mengalaminya di tahun 98 ke bawah, kita tidak mau terjadi kembali. Utamanya di Makassar, di Salah satu kampus misalnya di UMI itu mencatat sejarah bahwa Aparat bersenjata pernah masuk ke dalam sana ketika ABRI memiliki kewenangan atas supremasi sipil," cetusnya.
Pantauan di lokasi, massa aksi membawa sejumlah spanduk yang berisi kalimat tuntutan. Beberapa di antaranya berbunyi:
"Melawan lupa tragedi 97, Tolak RUU TNI."
"RUU TNI bikin khawatir dwifungsi ABRI hidup lagi."
"Militer tidak pernah demokratis."
"Kembalikan militer ke barak."
"Militerisasi kehidupan sipil adalah bentuk pengendalian sosial."
"Gantian aja gimana? TNI jadi ASN, sipil yang angkat senjata."
Tidak kalah menarik perhatian, salah satu gambar yang dibawa massa aksi bergambar celana dalam. Menyinggung berita yang belum lama ini viral di Medsos.
Beberapa waktu lalu, Jurnalis, Mawa Kresna, turut memberikan tanggapan tegas terhadap pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak.
Seperti diketahui, Maruli sebelumnya menyebut pengkritik Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) sebagai kampungan.
Kresna menegaskan bahwa kritik terhadap RUU TNI merupakan bagian dari hak publik, terutama karena TNI menggunakan anggaran yang bersumber dari uang rakyat.
Ia menyindir bahwa bahkan kebutuhan dasar TNI, seperti pembelian celana dalam, dibiayai oleh uang rakyat, sehingga masyarakat memiliki hak untuk mengkritik kebijakan yang berkaitan dengan TNI.
"Mohon maaf nih pak Maruli, TNI aja beli celana dalam masih pake duit rakyat," ujar Kresna di X @mawakresna (17/3/2025).
Kresna bilang, setiap warga negara, terlepas dari latar belakangnya, memiliki hak dan kontribusi dalam mendukung TNI, termasuk melalui pembayaran pajak yang digunakan untuk membiayai kebutuhan institusi tersebut.
"Ya masa mengkritik dan menolak dwi fungsi TNI malah dikatain kampungan. Orang kampungan pun punya kontribusi beliin celana dalam prajurit TNI," cetusnya.
Dalam unggahannya, Kresna menampilkan data dari Layanan Katalog Pengadaan Pemerintah (LKPP) tahun 2025.
Data tersebut menunjukkan bahwa TNI melakukan pembelian celana dalam melalui e-katalog dengan anggaran sebesar Rp170 juta.
(Muhsin/fajar)