Oleh : Muliadi Saleh, Alumni Pesantren IMMIM, Pengurus DPP IAPIM, Ketua DKM Masjid Fatimah
Sebelum waktu mengenal batas, sebuah percakapan abadi terjadi di langit. Tuhan yang Maha-Agung memanggil Iblis ke hadirat-Nya, di hadapan para malaikat yang berdiri dalam ketundukan sempurna. Saat itu, langit menyaksikan rencana besar yang akan mengubah sejarah semesta: penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Tanpa basa-basi, Tuhan berfirman tentang rencana besar-Nya: menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Namun, sebelum takdir ini tertulis, sebuah suara terdengar, bukan dari malaikat yang selalu tunduk, melainkan dari sosok yang kelak menjadi musuh abadi manusia.
Tanpa ragu, Iblis bersuara, sebuah keberanian yang tak dimiliki para malaikat. Namun, suaranya bukan suara kepatuhan, melainkan sebuah protes yang tajam :
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَاِ ذْ قَا لَ رَبُّكَ لِلْمَلٰٓئِكَةِ اِنِّيْ جَا عِلٌ فِى الْاَ رْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَا لُوْۤا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ ۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ
لَـكَ ۗ قَا لَ اِنِّيْۤ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata, "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?"
Dia berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.""
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 30)
Malaikat mengajukan pertanyaan dengan penuh keheranan. Namun, Tuhan menjawab dengan firman yang menggema di seluruh semesta:
"Inni a’lamu ma la ta’lamun."
"Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui."
Lalu, Adam diciptakan. Dari tanah yang diambil dari berbagai penjuru bumi—hitam, putih, kuning, merah—menjadi lambang keberagaman manusia kelak. Tuhan meniupkan ruh ke dalamnya dan mengajarinya nama-nama segala sesuatu. Adam menjadi makhluk berilmu, memiliki akal dan pemahaman yang tak dimiliki makhluk lain.
Tibalah saatnya ujian terbesar di langit itu. Tuhan memerintahkan seluruh penghuni langit:
"Usjudu li Adama!"
"Sujudlah kalian kepada Adam!"
Tanpa ragu, malaikat segera bersujud, tunduk pada kehendak Tuhan. Namun, ada satu makhluk yang tetap tegak. Ia tidak membungkuk, tidak bersujud, tidak tunduk. Iblis menatap Adam dengan mata penuh kebencian dan berkata dengan angkuhnya:
"Ana khairun minhu!"
"Aku lebih baik darinya!" (QS. Al-A’raf: 12),
Kesombongan yang terucap itu menjadi awal dari segala dosa. Dari satu kalimat itulah, segala keburukan berakar dan tumbuh. Tuhan pun bertanya seperti dalam firman Nya:
قَا لَ مَا مَنَعَكَ اَ لَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَ ۗ قَا لَ اَنَاۡ خَيْرٌ مِّنْهُ ۚ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّا رٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ
"(Allah) berfirman, "Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?" (Iblis) menjawab, "Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.""
(QS. Al-A'raf 7: Ayat 12)
"Wama mana’aka alla tasjuda idz amartuk?"
"Apa yang menghalangimu untuk bersujud saat Aku memerintahkanmu?" (QS. Al-A’raf: 12)
Iblis menjawab :
"Khalaqtani min narin wakhalaqtahu min thin."
"Aku diciptakan dari api, sedangkan dia dari tanah!"
Begitulah, Iblis menolak perintah Tuhan dengan dalih asal-usulnya lebih mulia. Kesombongan inilah yang membuatnya terusir dari surga dan dilaknat hingga hari kiamat.
Kesombongan yang Beranak Pinang Hingga Kini
Sejak saat itu, bisikan Iblis terus menggema di hati manusia. "Aku lebih baik darinya." Kalimat itu beranak pinak, melahirkan berbagai bentuk kesombongan di dunia.
Kini kita menyaksikan manusia mengulang sejarah kelam Iblis. "Saya lebih kaya," lalu lahir kesenjangan sosial. "Saya lebih tinggi pangkatnya," lalu lahir ketidakadilan. "Saya lebih berilmu," lalu lahir kesombongan intelektual. "Saya lebih murni rasnya," lalu lahir diskriminasi dan peperangan.
Bukankah ini yang kita lihat hari ini? Bangsa-bangsa saling menindas, merasa lebih unggul dari yang lain. Golongan merasa lebih suci, menganggap yang lain sesat. Individu merasa lebih berhak, merendahkan orang lain hanya karena status atau materi. Semua ini berawal dari satu kalimat: "Aku lebih baik darinya."
Padahal, Tuhan telah memperingatkan:
"Inna akramakum 'indallahi atqakum."
"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa." (QS. Al-Hujurat: 13):
يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَا رَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti."
Bukan harta, bukan keturunan, bukan pangkat, bukan jabatan—hanya takwa yang menjadi ukuran. Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda:
"La yadkhulu al-jannata man kana fi qalbihi mitsqala dzarrah min kibrin."
"Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebesar biji sawi." (HR. Muslim)
Namun, manusia tetap saja terjebak dalam jerat kesombongan. Setiap zaman melahirkan bentuk baru dari dosa moyang ini.
Di dunia kerja, seseorang merasa lebih hebat dan merendahkan rekan-rekannya. Di dunia politik, pemimpin merasa paling benar, menolak nasihat, lalu jatuh dalam kezaliman. Di media sosial, orang berlomba pamer, ingin diakui lebih unggul dari yang lain.
Belajar dari Sejarah, Kembali ke Tawadhu
Kesombongan Iblis membawanya pada kehancuran, menolak satu sujud lalu terjatuh dalam kutukan abadi. Sementara Adam, meski pernah tergelincir, ia merendahkan diri, menangis dalam taubat, hingga diampuni oleh Tuhan.
Kisah ini bukan sekadar sejarah, melainkan cermin bagi kita. Siapa yang lebih kita ikuti? Adam yang bersujud dan bertobat, atau Iblis yang sombong dan membangkang?
Ketahuilah, kesombongan tak membawa kita pada kemuliaan, tetapi pada kehancuran. Semakin tinggi kesombongan, semakin besar kejatuhan. Sebaliknya, semakin rendah hati, semakin tinggi derajat di sisi-Nya.
"Dan janganlah kamu berjalan di bumi dengan sombong, karena sesungguhnya kamu tidak akan mampu menembus bumi dan tidak akan bisa menjulang setinggi gunung." (QS. Al-Isra: 37)
Dunia ini hanya sementara. Jangan biarkan satu kalimat "Aku lebih baik darinya" menjerumuskan kita ke jalan yang sama seperti Iblis. Mari belajar rendah hati, agar kita tak jatuh dalam kesombongan yang menghancurkan. Wallahu A'lamu Bissawaab.
-Moel'S@21032025-