Dari Soekarno hingga Megawati: Militer Harus Berjiwa, Bukan Berpolitik

  • Bagikan
Soekarno dan Megawati Soekarnoputri

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Dua mantan Presiden Indonesia, Soekarno dan Megawati Soekarnoputri, secara tegas menyatakan pendapat mereka mengenai larangan Angkatan Bersenjata ikut serta dalam dunia politik.

Seperti diketahui, angkatan bersenjata yang dimaksud kini dikenal sebagai TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan Polri (Kepolisian Republik Indonesia).

Kedua pemimpin bangsa yang merupakan ayah dan anak ini menegaskan pentingnya netralitas dan profesionalisme TNI dan Polri dalam menjaga stabilitas negara.

Soekarno selaku Presiden Indonesia pertama, dalam salah satu pidatonya, menegaskan bahwa angkatan perang tidak boleh terlibat dalam politik.

"Padahal angkatan perang tidak boleh ikut-ikut politik. Tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik," ujar Soekarno dengan tegas.

Soekarno menambahkan, meskipun angkatan perang harus memiliki semangat yang membara, mereka harus tetap menjaga netralitas.

"Angkatan perang harus berjiwa, berapi-api berjiwa, berkobar-kobar berjiwa. Tapi dia tidak boleh ikut-ikut politik," tegasnya.

Pernyataan ini mencerminkan komitmen Soekarno untuk menjaga profesionalisme dan netralitas militer dalam menjaga kedaulatan negara.

Sementara itu, Megawati Soekarnoputri, putri dari Soekarno yang juga pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia, memiliki pandangan serupa.

Dalam sebuah kesempatan, Megawati dengan tegas menjawab pertanyaan tentang keterlibatan militer dan kepolisian dalam politik.

"Saya selalu ditanya, bolehkah militer dan Kepolisian itu ikut berpolitik? No," kata Megawati.

Megawati juga menambahkan argumennya dengan menjelaskan bahwa TNI dan Polri adalah institusi eksklusif yang diberikan senjata oleh negara.

"Mereka sebagai warga bangsa tuh sudah eksklusif loh. Apa? Diberi senjata, oleh siapa? Oleh negara," sebutnya.

Namun, Megawati juga menekankan bahwa meskipun TNI dan Polri tidak boleh terlibat dalam politik praktis, mereka harus tetap memahami dinamika politik.

"Tapi haruskah berpikiran politik? Harus, kalau nggak, nggak ngerti, diombang-ambingkan dan sebagainya," kuncinya.

Baik Soekarno maupun Megawati Soekarnoputri sepakat bahwa TNI dan Polri harus tetap netral dan tidak terlibat dalam politik praktis.

Keduanya menekankan pentingnya profesionalisme dan netralitas angkatan bersenjata dalam menjaga stabilitas dan keamanan negara.

Hanya saja, apa yang ditekankan kedua mantan kepala negara ini berubah di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Seperti diketahui, setelah melalui sejumlah polemik dalam perjalanan pembahasannya, DPR RI akhirnya resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi undang-undang.

Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025).

Rapat dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani didampingi Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.

Sejumlah menteri Kabinet Merah Putih juga tampak menghadiri rapat paripurna.

Diantaranya, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi serta Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono.

Pengambilan keputusan itu merupakan tahapan pembicaraan tingkat II dalam proses legislasi, setelah RUU tersebut disetujui dalam pembicaraan tingkat I oleh Komisi I DPR RI yang membidangi urusan keamanan, pertahanan, dan informasi digital.

Ketua Panja RUU TNI, Utut Adianto pun menyampaikan laporan pembahasan RUU TNI.

Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menegaskan bahwa revisi UU TNI mencerminkan komitmen kuat terhadap profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara yang tidak berpolitik dan tidak berbisnis.

Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perubahan pada Pasal 2 butir d yang menegaskan jati diri TNI sebagai tentara profesional.

Selain itu, Pasal 39 tetap melarang prajurit aktif untuk berpolitik praktis, menjadi anggota partai politik, berbisnis, serta mengikuti pemilu.

"DPR dan pemerintah juga sepakat mempertahankan Pasal 47 ayat 1 yang mewajibkan prajurit aktif TNI yang menduduki jabatan sipil untuk mengundurkan diri atau pensiun. Artinya, aturan ini tetap konsisten melarang dwifungsi TNI," ujar Hasanuddin.

Menurutnya, kekhawatiran publik mengenai ekspansi militer dalam jabatan sipil juga tidak beralasan. Justru, revisi UU TNI memperketat aturan dengan melakukan limitasi terhadap instansi yang dapat diisi prajurit aktif.

"Penambahan lima institusi dalam Pasal 42 ayat 2 bukanlah bentuk ekspansi, melainkan pembatasan terhadap pos-pos yang dapat diisi prajurit aktif," imbuhnya.

"Lima institusi tersebut, yakni pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, dan Kejaksaan Agung, memang memiliki keterkaitan dengan sektor pertahanan dan kemampuan teknis kemiliteran," kuncinya.

(Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan