Oleh: Muliadi Saleh
(Pemerhati dan Pencinta Masjid, Penggagas Gerakan CMCA - Cnita Masjid Cinta Alquran)
Bismillahirrahmanirrahim. Dalam nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Beginilah seharusnya sebuah komunikasi dimulai—dengan kelembutan, dengan kasih, dengan niat yang bersih. Setiap kata yang keluar dari lisan bukan sekadar bunyi, tetapi gelombang yang dapat menyentuh hati. Karena itulah, komunikasi yang efektif bukan hanya tentang berbicara, tetapi tentang menyampaikan dengan penuh empati.
Dalam dunia kerja, politik, atau bahkan interaksi sehari-hari, komunikasi bisa menjadi alat untuk membangun atau menghancurkan. Al-Fatihah, surah pembuka yang menjadi inti Al-Qur’an, ternyata menyimpan fondasi komunikasi yang ideal—suatu model yang bisa digunakan dalam diskusi, negosiasi, atau bahkan penyelesaian konflik.
Memulai dengan Penghormatan: Bismillahirrahmanirrahim
Sebuah komunikasi yang baik diawali dengan penghormatan kepada lawan bicara. Tidak ada yang lebih menenangkan selain sebuah pembukaan yang mengedepankan kelembutan. Dalam Islam, setiap langkah baik dimulai dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Begitu juga komunikasi—ia harus diawali dengan rasa hormat dan penghargaan, bukan dengan arogansi atau prasangka.
Studi psikologi komunikasi menunjukkan bahwa orang lebih terbuka menerima pesan ketika dia merasa dihargai. Sebuah penelitian dari Harvard Business Review (2017) menemukan bahwa orang yang memulai percakapan dengan apresiasi lebih mungkin mendapatkan respons positif dibandingkan mereka yang langsung mengkritik.
Maka, saat kita berdiskusi, awali dengan pujian yang tulus: "Saya sangat menghargai waktu dan pemikiran Anda dalam diskusi ini." Kalimat seperti ini membuka ruang bagi komunikasi yang sehat, di mana lawan bicara merasa dihormati dan lebih siap untuk mendengarkan.
Menempatkan Lawan Bicara dalam Peran Penting: Rabbul ‘Alamin
"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam." Dalam komunikasi, ini berarti mengakui peran dan kontribusi lawan bicara. Manusia memiliki ego, dan ego yang dihargai akan lebih terbuka untuk berdialog. Dalam negosiasi bisnis, seorang pemimpin yang memahami pentingnya mengangkat kontribusi timnya akan lebih mudah mendapatkan dukungan dan kepercayaan.
Sebuah studi dari McKinsey & Company menunjukkan bahwa pemimpin yang sering memberikan penghargaan verbal kepada timnya mampu meningkatkan produktivitas hingga 31%. Dalam komunikasi interpersonal, ketika seseorang merasa dianggap penting, dia lebih bersedia untuk mendengarkan, berdiskusi, dan mencari solusi bersama.
Jadi, dalam berbicara, tempatkan lawan bicara sebagai bagian dari solusi. Katakan, “Saya tahu bahwa Anda memiliki wawasan luar biasa dalam hal ini,” atau, “Saya ingin belajar dari pengalaman Anda.” Dengan begitu, komunikasi tidak menjadi perdebatan, melainkan pertukaran pemikiran yang saling memperkaya.
Mengutamakan Kasih Sayang: Ar-Rahman Ar-Rahim
Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang tidak menyerang, tidak merendahkan, tetapi merangkul. Kata-kata yang keras, meskipun benar, sering kali hanya memicu pertahanan diri lawan bicara. Sebaliknya, kata-kata yang lembut dapat membuka hati dan pikiran.
Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence (1995) menegaskan bahwa kecerdasan emosional dalam komunikasi lebih penting daripada kecerdasan intelektual. Orang akan lebih mengingat bagaimana mereka diperlakukan daripada apa yang dikatakan kepada mereka.
Maka, dalam berbicara, gunakan bahasa yang membangun: bukan "kamu salah", tetapi "mari kita cari jalan tengahnya". Bukan "ini masalah besar", tetapi "ini tantangan yang bisa kita atasi bersama". Dalam setiap diskusi, kasih sayang adalah kunci agar komunikasi tetap sehat.
Berbicara tentang Masa Depan, Bukan Masa Lalu: Maliki Yaumiddin
Seorang komunikator yang hebat tidak menjebak lawan bicara dalam kesalahan masa lalu, tetapi mengarahkan pandangan ke masa depan. Dalam negosiasi atau diskusi, terlalu banyak menyoroti kesalahan yang sudah terjadi hanya akan menciptakan perasaan defensif.
Sebaliknya, berbicara tentang peluang ke depan akan membuka jalan menuju solusi. Dalam dunia bisnis, perusahaan yang fokus pada inovasi daripada menyalahkan kegagalan sebelumnya lebih mungkin bertahan. Begitu pula dalam hubungan sosial—daripada berkata, "Kamu selalu terlambat," lebih baik katakan, "Bagaimana kita bisa memastikan jadwal lebih baik ke depannya?"
Penelitian dari Stanford University menunjukkan bahwa orang lebih responsif terhadap komunikasi yang berorientasi pada masa depan daripada yang berfokus pada kesalahan masa lalu. Maka, dalam komunikasi, fokuskan energi pada solusi, bukan penyesalan.
Berdialog dengan Keterbukaan: Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in
Komunikasi terbaik adalah komunikasi yang bukan hanya berbicara, tetapi juga mendengar. Seperti dalam ayat ini, yang menegaskan bahwa kita hanya beribadah dan memohon kepada Allah, komunikasi pun harus dilakukan dengan sikap ketundukan terhadap kebenaran dan keterbukaan terhadap sudut pandang lain.
Diskusi bukanlah ajang untuk memenangkan ego, tetapi untuk menemukan titik temu. Seperti yang dikatakan filsuf Yunani, Sokrates, "Orang yang bijaksana lebih banyak bertanya daripada berbicara." Maka, dalam komunikasi, ajukan pertanyaan yang membuka ruang pemikiran, seperti:
- "Bagaimana menurut Anda jika kita mencoba solusi ini?"
- "Apa pendapat Anda tentang langkah yang bisa kita ambil bersama?"
Dengan cara ini, komunikasi tidak menjadi monolog, tetapi dialog yang produktif.
Memberikan Solusi: Ihdinas-Siratal Mustaqim
Pada akhirnya, komunikasi yang baik harus menghasilkan jalan keluar. Seperti doa dalam ayat ini yang memohon jalan yang lurus, setiap diskusi atau negosiasi harus berujung pada solusi yang jelas dan konkret.
Dalam dunia bisnis dan politik, banyak pertemuan berakhir tanpa keputusan karena tidak adanya kesepakatan yang jelas. Harvard Negotiation Project menekankan bahwa sebuah negosiasi yang baik harus selalu ditutup dengan langkah konkret yang bisa dijalankan oleh semua pihak.
Dalam komunikasi, jangan biarkan pembicaraan mengambang. Pastikan ada solusi yang disepakati bersama: "Jadi, kita sepakat bahwa langkah selanjutnya adalah ini, dan kita akan mengevaluasinya dalam sebulan ke depan." Dengan demikian, komunikasi menjadi alat yang benar-benar membawa perubahan.
Menutup dengan Kesepakatan yang Benar: Ghairil Maghdubi ‘Alaihim wa Ladhdhallin
Terakhir, pastikan bahwa keputusan yang diambil bukan berdasarkan hawa nafsu atau tekanan, tetapi benar-benar berdasarkan kebenaran dan keadilan. Hindari keputusan yang hanya menyenangkan satu pihak tetapi merugikan yang lain.
Komunikasi yang baik harus menghindari manipulasi dan kesesatan, sebagaimana ayat ini mengingatkan untuk tidak mengikuti jalan yang salah. Dalam perundingan atau diskusi, integritas adalah segalanya.
Kesimpulan: Komunikasi yang Membawa Keberkahan
Al-Fatihah bukan hanya doa, tetapi juga pedoman dalam seni berbicara. Ia mengajarkan bahwa komunikasi harus diawali dengan penghormatan, diwarnai dengan kasih sayang, diarahkan ke masa depan, dilakukan dengan dialog yang terbuka, diakhiri dengan solusi yang jelas, dan dijaga dari kesalahan langkah.
Jika komunikasi di dunia mengikuti prinsip Al-Fatihah, maka dunia akan dipenuhi dengan percakapan yang lebih bermakna, perundingan yang lebih adil, dan hubungan yang lebih harmonis. Sebab, kata-kata yang benar dan disampaikan dengan hati yang bersih adalah cahaya yang menerangi perjalanan hidup manusia.
Wallahu A'lamu Bissawaab.
-Moel'S@22032025-