Namun, seiring waktu, makna itu bergeser menjadi kewajiban tak tertulis yang bahkan berujung pada paksaan.
“Apakah fenomena THR ini justru menunjukkan kegagalan kita menyelami makna Ramadan?” tanyanya.
Gus Nadir mengutip Imam Al-Ghazali yang menegaskan bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menjauhi kebodohan, kebohongan, dan kerakusan.
Namun, Gus Nadir bilang, kerakusan di era modern hadir dalam bentuk lain, seperti belanja berlebihan, gengsi sosial, dan tuntutan THR yang makin menjadi tekanan.
"Berbagilah THR karena cinta, bukan karena terpaksa. Rayakan Lebaran dengan nuansa spiritual, bukan material yang menambah beban sosial," pesannya.
Tambahnya, ia menawarkan perspektif baru mengenai THR yang seharusnya bukan hanya sebatas tunjangan materi, melainkan juga pengendalian diri.
"Barangkali, sudah saatnya kita beri makna baru bagi THR, Tahan Hawa Rakus. Atau, taburkan hikmah Ramadan," kuncinya.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, meminta aparat kepolisian menindak tegas preman yang berkedok organisasi kemasyarakatan (ormas) dan melakukan pemerasan dengan dalih meminta tunjangan hari raya (THR).
Ia mendesak agar aparat segera menangkap para pelaku, yang kerap beraksi secara paksa menjelang hari raya.
Menurut Abdullah, keberadaan preman bermodus ormas tersebut telah lama dikeluhkan oleh masyarakat, instansi pemerintah, pelaku usaha, dan pihak-pihak lain yang selama ini menjadi korban pemalakan.
Untuk itu, ia mengusulkan agar kepolisian membentuk posko pengaduan khusus terkait aksi premanisme tersebut.