Oleh: Heru Subagia
(Pengamat Politik dan Ekonomi)
Negara sibuk dengan rencana dan mimpi besar. Membangun mercusuar ekonomi yang justru menelan berbagai aspek kepentingan masyarakat. Program unggulan pemerintah itu bernama Danantara. Pemerintah lebih konsen memberikan persembahan infrastruktur ekonomi bagi pemain kelas kakap
Ngomongnya Danantara sebagai Pengelola Investasi. Danantara atau Sovereign Wealth Fund (SWF), atau Dana Kekayaan Negara adalah dana investasi yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah suatu negara yang bertujuan untuk mengelola kekayaan negara dengan cara diinvestasikan dalam berbagai aset, baik di dalam maupun di luar negeri.
Curiga juga jika melihat secara saksama tujuan Danantara dibangun dan diperjuangkan mati-matian oleh Prabowo.
Danantara ditujukan untuk berbagai mega proyek strategis nasional. Tidak menyentuh hajat dan ekosistem UMKM. Dana triliunan rupiah tersebut akan menginvestasikan sumber daya alam dan aset negara kita ke dalam proyek-proyek yang berkelanjutan dan berdampak tinggi di berbagai sektor seperti energi terbarukan, manufaktur canggih, industri hilir, produksi pangan, dan lain-lain.
Prabowo sudah menghitung berdasarkan evaluasi awal, Danantara akan mengelola dana lebih dari US$900 miliar atau sekitar Rp14.715 triliun aset dalam pengelolaan (asset under management/AUM).
Struktur Pengurus Bule
Badan Pengelola Investasi Daya Anggota Nusantara (BPI Danantara) resmi mengumumkan struktur kepengurusan lengkap. Pengumumannya disampaikan langsung oleh Chief Executive Officer (CEO) atau Direktur Utama Danantara, Rosan Perkasa Roeslani di Jakarta, Senin, 24 Maret 2025.
Sangat disayangkan dan perlu dipertanyakan siapa yang ada dalam manajemen Danantara. Porsi jabatan secara gampang diisi mantan presiden, petinggi tim pemenangan presiden dan para stage holder lainnya pendukung Pilpres 20254 Prabowo.
Lebih mengerikan lagi, manajemen Danantara diisi oleh sosok yang berasa dari luar negeri alias bule. Diantara kursi yang ditempati adalah Dewan Penasihat di antaranya, Ray Dalio sebagai pendiri Bridgewater Associate.
Terdapat ekonom dan akademisi global Jeffrey Sachs, Equity Portfolio Manager Capital Group, F Chapman Taylor, serta mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra.
Di jajaran management director ada Lieng-Seng Wee dan Yup Kim. Wee menjabat sebagai managing director risk and sustainability, sedangkan Kim akan bertanggung jawab atas Komite Investasi dan Portofolio.
Mantan Narapidana
Yang menarik adalah masuknya Thaksin sebagai dewan penasihat. Mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, ditunjuk menjadi anggota Dewan Penasihat Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Hal tersebut memicu reaksi negatif dari investor. Tentunya ketidakpercayaan ini bukan tanpa alasan jelas. Mengikatkan kembali jika Thaksin memiliki sejarah panjang terkait berbagai kasus hukum, khususnya di bidang korupsi dan penghindaran pajak.
Thaksin dikenal sebagai pengusaha dan politikus Thailand. Thaksin Shinawatra tercatat pernah terseret sejumlah kasus hukum di negaranya.
Beberapa skandal yang mencoreng reputasi mantan Perdana Menteri Thailand ini antara lain Pada 2006, keluarga Thaksin melepas saham Shin Corp ke Temasek Holdings, perusahaan investasi milik pemerintah Singapura. Ditemukan jika transaksi tersebut dilakukan tanpa membayar capital gain tax, yang kemudian menjadi salah satu skandal keuangan terbesar di Thailand.
Deretan terutama Thaksin tidak berseri. Dijett pada 2008, Thaksin terseret dalam kasus korupsi terkait pembelian lahan pemerintah di Ratchadaphisek, Bangkok. Thaksin dituduh menyalahgunakan wewenangnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi melalui transaksi lahan yang tidak transparan.
Pertanyaan Menohok
Pertanyaan, mengapa harus banyak mengimpor banyak ahli dari luar negeri?
Karena mengejar reputasi internasional, Danantara harus diisi pegawai import? Bukannya Rupiah dan IHSG berguguran paska pengumuman Struktur Organisasi Danantara?
Belum cukup dan siapkan SDM Indonesia untuk mengisi jabatan tersebut?
Terbayang juga berapa milyar rupiah yang harus dibayarkan untuk menggaji tenaga asing tersebut?
Bukannya sebuah tindakan pemborosan uang negara secara kontinu?
Bagaimana juga berurusan dengan nasionalis dan patriotisme para pekerja asing tersebut dapat dipertanggungjawabkan?
Bukannya Danantara ke peruntukannya untuk membiayai proyek strategis dalam negeri?
Praktik Ilegal Internasional
Jangan-jangan banyaknya orang bule tersebutlah memainkan peranan vital untut mengolah Danantara untuk membiayai proyek asing atau mungkin juga justru Danantara dibuat untuk judi online, jual beli saham dan atau tempat transaksi gelap internasional?
Dengan banyaknya elite Danantara yang diisi oleh Bule, dikuatkan kembali tanpa pengawasan yang kuat, ada potensi terbukanya celah korupsi, pencucian uang, dan praktik bisnis yang tidak etis sangat terbuka lebar. (*)