Militer Harusnya Tunduk pada Rakyat, Bukan Mengangkangi Hukum

  • Bagikan
TNI berhasil mengevakuasi 42 tenaga pengajar dan tenaga kesehatan dari Yahukimo ke Jayapura

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pegiat media sosial Tommy Shelby menyuarakan kritik tajam terhadap Undang-Undang TNI 2025 yang baru disahkan.

Dikatakan Tommy, aturan tersebut berpotensi melemahkan demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.

"UU TNI 2025 adalah ancaman nyata bagi demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia," ujar Tommy di X @TOM5helby (24/3/2025).

Ia menegaskan bahwa militer seharusnya tunduk pada rakyat dan tidak diberikan kewenangan lebih yang bisa berujung pada penyalahgunaan kekuasaan.

"Militer harus tunduk pada rakyat, bukan malah diberi kekuatan lebih untuk mengangkangi hukum!" lanjutnya.

Tommy juga mengajak masyarakat untuk terus menyuarakan kritik terhadap UU tersebut.

"Jangan surut langkah, terus gaungkan perlawanan," serunya.

Sejak disahkan, UU TNI 2025 memang menuai pro dan kontra. Tidak sedikit yang menilai aturan ini memiliki potensi pelanggaran hak sipil dan demokrasi.

Sebelumnya, setelah melalui sejumlah polemik dalam perjalanan pembahasannya, DPR RI akhirnya resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi undang-undang.

Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025).

Rapat dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani didampingi Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.

Sejumlah menteri Kabinet Merah Putih juga tampak menghadiri rapat paripurna.

Diantaranya, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi serta Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono.

Pengambilan keputusan itu merupakan tahapan pembicaraan tingkat II dalam proses legislasi, setelah RUU tersebut disetujui dalam pembicaraan tingkat I oleh Komisi I DPR RI yang membidangi urusan keamanan, pertahanan, dan informasi digital.

Ketua Panja RUU TNI, Utut Adianto pun menyampaikan laporan pembahasan RUU TNI.

Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menegaskan bahwa revisi UU TNI mencerminkan komitmen kuat terhadap profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara yang tidak berpolitik dan tidak berbisnis.

Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perubahan pada Pasal 2 butir d yang menegaskan jati diri TNI sebagai tentara profesional.

Selain itu, Pasal 39 tetap melarang prajurit aktif untuk berpolitik praktis, menjadi anggota partai politik, berbisnis, serta mengikuti pemilu.

"DPR dan pemerintah juga sepakat mempertahankan Pasal 47 ayat 1 yang mewajibkan prajurit aktif TNI yang menduduki jabatan sipil untuk mengundurkan diri atau pensiun. Artinya, aturan ini tetap konsisten melarang dwifungsi TNI," ujar Hasanuddin.

Menurutnya, kekhawatiran publik mengenai ekspansi militer dalam jabatan sipil juga tidak beralasan. Justru, revisi UU TNI memperketat aturan dengan melakukan limitasi terhadap instansi yang dapat diisi prajurit aktif.

"Penambahan lima institusi dalam Pasal 42 ayat 2 bukanlah bentuk ekspansi, melainkan pembatasan terhadap pos-pos yang dapat diisi prajurit aktif," imbuhnya.

"Lima institusi tersebut, yakni pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, dan Kejaksaan Agung, memang memiliki keterkaitan dengan sektor pertahanan dan kemampuan teknis kemiliteran," kuncinya.

(Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan