Akbar Endra: Dari Jalanan ke Parlemen, Kini Mengawal Demokrasi Lewat Jurnalisme

  • Bagikan
Akbar Endra

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Di sebuah sudut Gedung DPR RI, Akbar Endra duduk bersama beberapa jurnalis senior, menikmati kopi hitam sambil membahas dinamika politik terbaru. Dari cara ia berbicara, jelas terlihat bahwa ia bukan sekadar wartawan biasa. Ia adalah saksi hidup perjalanan reformasi, mantan legislator, sekaligus jurnalis yang terus mengawal demokrasi dengan pena tajamnya.

Lahir di Akkampeng, Desa Maccila, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, pada 3 Maret 1972, Akbar tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan nilai-nilai keberanian dan kemandirian. Sejak muda, ia terbiasa melihat bagaimana orang-orang di sekitarnya berjuang untuk kehidupan yang lebih baik, sebuah pelajaran yang kelak membentuk karakter kritisnya.

Ketika masuk ke Universitas Hasanuddin di Makassar, Akbar menemukan panggilannya dalam dunia aktivisme. Ia bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan kemudian menjadi Koordinator Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi, sebuah posisi yang menempatkannya di garis depan perjuangan reformasi 1998. Bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia turun ke jalan, menuntut perubahan, menghadapi aparat, dan menyaksikan sejarah Indonesia bergerak menuju demokrasi.

“Kami dulu berjuang dengan idealisme. Tak ada bayaran, tak ada pamrih. Kami hanya ingin negeri ini lebih baik,” kenangnya.

Namun, perjuangannya tidak berhenti di jalanan. Setelah reformasi, Akbar memasuki dunia politik dan terpilih sebagai anggota DPRD Maros selama dua periode (2009-2014, 2014-2019). Di sana, ia melihat langsung bagaimana sistem bekerja—atau dalam banyak kasus, bagaimana sistem gagal bekerja untuk rakyat.

Kembali ke Jurnalisme: Menjaga Demokrasi dengan Pena

Meski menjadi legislator memberinya pengalaman berharga, Akbar menyadari bahwa jiwanya tidak sepenuhnya berada di sana. Ia merasa ada banyak kebenaran yang harus disuarakan, banyak kebijakan yang perlu dikritisi, dan banyak praktik kekuasaan yang harus diawasi. Maka, setelah dua periode di parlemen, ia memilih kembali ke dunia jurnalistik.

Ia mendirikan Menit Indonesia, sebuah portal berita yang menyoroti politik, ekonomi, dan isu-isu sosial dengan pendekatan investigatif. Tulisan-tulisannya selalu tajam, kritis, dan berbasis data. Tidak jarang, laporan eksklusifnya mengguncang dunia politik dan menjadi perbincangan di kalangan elit maupun masyarakat luas.

“Jurnalisme adalah benteng terakhir demokrasi. Jika media melemah, yang rugi bukan hanya kita, tapi seluruh rakyat,” katanya dengan nada serius.

Kini, sehari-hari Akbar menghabiskan waktunya meliput sidang-sidang DPR di Senayan atau nongkrong bersama wartawan di pusat pemberitaan isu korupsi. Ia tetap berbaur dengan para jurnalis nasional tanpa merasa perlu menjaga jarak atau membangun gengsi.

“Saya tidak peduli apakah saya makan di warteg atau di restoran mewah bersama elite politik. Yang penting, saya tetap punya akses ke informasi, tetap bisa menulis dengan jujur, dan tetap bisa menyuarakan kebenaran,” ujarnya sambil tersenyum.

Meski terus sibuk dengan pekerjaannya, Akbar tidak sendiri. Di balik langkahnya, ada dukungan dari sang istri, Lina Akbar, yang memahami kompleksitas kehidupannya. “Saya bersyukur masih bisa bergerak bebas di dunia jurnalistik, dan istri saya pun mendukung langkah saya untuk terus maju,” kata Akbar.

Masa Depan: Tak Akan Berhenti Menulis

Bagi Akbar, jurnalisme bukan sekadar profesi. Ini adalah panggilan jiwa. Sejarah hidupnya yang berliku, dari aktivisme mahasiswa, masuk ke parlemen, hingga kembali ke dunia pers, telah membentuknya menjadi sosok yang tidak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan.

Ia percaya bahwa selama masih ada pena di tangannya dan masih ada suara yang harus disuarakan, ia akan terus menulis.

“Jurnalis bukan sekadar pencatat peristiwa, tapi juga penjaga sejarah dan pengawal demokrasi. Saya memilih jalan ini, dan saya akan tetap di sini,” tutupnya.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan