Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)
Pada abad ke-19, Makassar menjadi salah satu pusat perdagangan penting di Nusantara. Sebagai pelabuhan strategis, kota ini menjadi persinggahan bagi pedagang dari Bugis, Mandar, Selayar, dan Buton yang menjalin hubungan dagang dengan berbagai wilayah, termasuk Singapura. Namun, perubahan kebijakan kolonial Belanda dan dominasi Inggris di Asia Tenggara mengubah wajah perdagangan di Makassar secara drastis.
Ketika ekonomi Belanda melemah akibat perang dengan Inggris dan pendudukan Prancis, Hindia Belanda belum sepenuhnya menguasai kepulauan Nusantara. Banyak kerajaan lokal yang tetap berdaulat dan memiliki otonomi dalam perdagangan.
Inggris, dengan prinsip perdagangan bebasnya, mendorong interaksi yang lebih luas antara pedagang Nusantara dan pasar internasional. Namun, Belanda berusaha mempertahankan kendali dengan berbagai kebijakan yang justru menekan aktivitas ekonomi lokal.
Pada tahun 1824, Traktat London mengubah peta kekuatan di kawasan ini. Inggris menyerahkan Malaka kepada Belanda, tetapi sebagai gantinya, perdagangan bebas harus diterapkan di beberapa pelabuhan Hindia Belanda, termasuk Makassar.
Sayangnya, meski Belanda secara resmi membuka pelabuhan, kebijakan mereka tetap mengekang. Pajak tinggi, monopoli rempah-rempah dan candu, serta pembatasan impor senjata membuat para pedagang lebih memilih berbisnis di Singapura yang berkembang pesat sebagai pusat perdagangan bebas.
Makassar menjadi saksi dari kegagalan "politik pintu terbuka" yang diterapkan Belanda. Banyak faktor yang berkontribusi pada kegagalan ini, termasuk pajak yang mencekik, larangan perdagangan senjata yang membatasi kekuatan kerajaan lokal, dan dominasi Belanda terhadap komoditas utama.
Mata uang yang diberlakukan oleh Belanda juga kurang diminati di pasar internasional, membuat transaksi semakin sulit.
Seiring meningkatnya penyelundupan dan perdagangan ilegal, Makassar tetap berhubungan erat dengan Singapura. Pada tahun 1847, Belanda mencoba bersaing dengan menetapkan Makassar sebagai pelabuhan bebas, meski dengan berbagai pembatasan. Kapal-kapal asing diizinkan berdagang, tetapi masih dihadapkan pada aturan ketat yang tidak sejalan dengan semangat perdagangan bebas.
Baru pada tahun 1850, Pemerintah Hindia Belanda mulai lebih serius mengembangkan perdagangan Makassar dengan membuka jalur pelayaran bersubsidi. Namun, pedagang dari Inggris dan Cina di Singapura telah lebih dulu menguasai pasar, terutama dalam ekspor hasil laut ke Tiongkok. Hingga tahun 1873, perdagangan Makassar mengalami tiga fase utama:
-Periode Pertumbuhan Pesat (1847-1873) – Didominasi oleh pedagang Inggris, Cina, dan lokal.
-Periode Keguncangan (1874-1891) – Persaingan ketat dan pembatasan pelabuhan bebas mulai diberlakukan.
-Periode Kepincangan (1892-1906) – Penurunan perdagangan akibat kebijakan kolonial yang semakin menekan.
Pada akhir abad ke-19, Belanda semakin khawatir dengan pengaruh pedagang Inggris dan Cina di wilayahnya. Mereka mulai memperketat kendali melalui Nederlandsch Handel-Maatschappij (NHM) dan mendirikan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) untuk menguasai jalur perdagangan Nusantara.
Akhirnya, pada tahun 1906, status pelabuhan bebas di Makassar dicabut, menandai berakhirnya masa kejayaan perdagangan yang pernah membuat kota ini menjadi pusat ekonomi di Indonesia bagian timur. (*)