FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pegiat media sosial, Bachrum Achmadi, melontarkan kritik tajam terhadap aturan yang memungkinkan negara mengambil harta warisan yang tidak diklaim.
Ia menilai kebijakan tersebut semakin menekan rakyat kecil, sementara harta hasil korupsi pejabat justru aman tanpa tersentuh hukum.
“Aturan buat rakyat dibikin sangat keras, bahkan harta warisan mau dirampas," ujar Bachrum di X @Bachrum_Achmadi (27/3/2025).
Bachrum menyinggung ketimpangan dalam penerapan kebijakan hukum di Indonesia.
Ia menilai rakyat kerap menjadi sasaran aturan ketat, sementara para pejabat yang terbukti korup justru bisa menikmati hasil kejahatan mereka dengan nyaman.
"Giliran harta pejabat korup aman sentosa. Bangsad ga tuh yg bikin aturan!” tandasnya.
Sebelumnya, setelah ramai perbincangan mengenai kendaraan yang mati pajak berisiko disita negara, kini muncul kebijakan baru terkait warisan.
Pemerintah memiliki dasar hukum untuk mengambil alih harta warisan yang tidak dimanfaatkan oleh ahli waris.
Ketentuan ini merujuk pada Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) yang menyebutkan bahwa barang warisan dapat diambil negara jika tidak dikelola dengan baik oleh ahli warisnya.
Barang yang dimaksud mencakup aset bergerak maupun tidak bergerak, seperti rumah, bangunan, atau tanah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 830 KUHPerdata.
Lebih lanjut, Pasal 832 KUHPerdata mendefinisikan ahli waris sebagai individu yang memiliki hubungan darah dengan pewaris, baik dari pernikahan sah maupun di luar pernikahan, serta pasangan suami atau istri yang masih hidup.
Jika suatu properti warisan tidak ditempati atau dibiarkan terbengkalai, maka aset tersebut dapat dikategorikan sebagai harta warisan terlantar.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Hubungan Antar Lembaga (PHAL) Kementerian ATR/BPN, Risdianto Prabowo Samodro, menjelaskan bahwa tanah atau rumah warisan yang tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, termasuk yang dibiarkan kosong tanpa penghuni, bisa diklasifikasikan sebagai tanah telantar.
Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar.
Dalam regulasi tersebut, tanah telantar didefinisikan sebagai lahan yang memiliki hak kepemilikan, hak guna, atau hak pengelolaan tetapi sengaja tidak diusahakan, dimanfaatkan, atau dirawat.
“Tanah atau rumah warisan bisa diambil negara jika dibiarkan telantar atau tidak digunakan sesuai peruntukkannya,” kata Risdianto.
Meski begitu, pemerintah menegaskan bahwa tidak semua tanah warisan yang tidak digunakan otomatis beralih ke negara.
Ada mekanisme retribusi daerah yang memungkinkan lahan tersebut dialihkan kepada pihak yang dapat mengelolanya dengan lebih produktif.
Berdasarkan Pasal 7 PP Nomor 20 Tahun 2021, tanah milik ahli waris dapat menjadi objek penertiban apabila dibiarkan tanpa pemanfaatan dalam jangka waktu tertentu.
Tanah yang tidak digunakan ini dapat dikuasai oleh masyarakat dan berpotensi menjadi area pemukiman yang diklaim pihak lain secara terus-menerus.
(Muhsin/fajar)