FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- "Mendidik dan membesarkan anak tidak perlu banyak teori dari buku. Cukup menjadi teladan, konsisten hadiahkan apresiasi, motivasi, dukungan, serta jangan pernah membuat mereka minder, kecewa atau sakit hati karena kita. Bangun kepercayaan agar dirinya kuat, dan karismanya kelak juga terpancar."
Prof. dr. Budu, Ph.D, Sp.M (K), M.MedEd telah memberi pelajaran berharga dari pengalamannya mengawal tumbuh kembang ketiga buah hatinya. Bahwa bagaimana mengajarkan tentang cinta, harapan, dan perjuangan dalam hidup.
Budu adalah profesor berkarisma, guru besar kedokteran Universitas Hasanuddin yang disegani. Ia telah banyak melahirkan dokter-dokter handal, termasuk darah dagingnya sendiri: dr. Muhammad Rizky Malik Budu, S.Ked, M.Sc, dr. Aisyah Muthmainnah, S.Ked dan Muhammad Afdhal Amin Budu, S.Ked.
Cerdas dan penyayang. Dua kata yang paling tepat disematkan kepada dokter spesialis mata ini. Karismanya kuat, namun sikapnya hangat, humble kepada lawan bicaranya.
"Istri saya dokter spesialis patologi klinik, Dr.dr. Tenri Esa, M.Si, Sp.PK (K), salah satu dosen di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Unhas, 2 tahun di bawah saya. Dia pintar mendidik anak, lebih tegas, presisi, rapi, dan sikapnya hitam-putih," kata Prof Budu.
Pria kelahiran Baddo-Baddo Maros, 31 Desember 1966 itu banyak berkisah mengenai caranya mendidik anak. Di tengah kesibukannya yang super padat, dia tak pernah absen menyisihkan waktu untuk bercengkrama dengan ketiga buah hatinya.
Ya, Prof Budu sangat layak masuk nominasi sebagai sosok ayah yang romantis. Pendengar yang baik untuk anak-anaknya. Ini dia adopsi dari cara orang tuanya mendidiknya dahulu.
Dia tidak segan berbagi kisah, bahkan untuk hal-hal yang lebih pribadi. Baginya, menjadi pendengar yang baik untuk anak jauh lebih baik dibandingkan jika anak-anak harus melimpahkan keluh kesahnya kepada orang lain.
Ia selalu memberi lebih dari apa yang ia miliki. Ia tak pernah keberatan jika anak-anaknya kalah dalam sebuah kompetisi, bahkan dijadikannya suasana itu bagian dari mendidik anak menjadi petarung.
Masalah rangking di sekolah, Budu tak pernah menunut banyak, tapi tatkala buah hatinya menyampaikan posisi mereka di kelas, disambutnya dengan apresiasi ala dia sendiri.
Anaknya senang sebab sekalipun tak menjadi nomor satu, mereka merasa dihargai orang tua. Karena menurutnya begitulah hidup, kalau tak ingin kalah jangan bertanding. Motivasi ini yang kemudian menumbuhkan rasa percaya diri anak-anaknya.
Tangan mungil anak-anaknya selalu ia genggam hingga mereka dewasa. Bahkan tak segan berpelukan dengan hangat seperti teman sendiri, itu sudah alamiah dan spontan bahkan menjadi kebiasaan sehari-hari.
Kehangatan dan ikatan batin ini terjalin kuat sejak putra putrinya belia hingga saat ini. Itu adalah modal penting untuk bisa menjalin kebersamaan dan rasa sehati dengan anak-anak, maka jika ada masalahnya mereka larinya ke orang tua sebagai yang terdekat.
Prof Budu adalah suami setia, ayah yang lembut dan penyayang, namun pekerja keras. Tak pernah sekalipun pita suaranya meninggi. Dia melakukan segalanya demi kebahagian keluarga. Ia memposisikan diri lebih dari sekedar ayah, tapi juga sahabat terbaik bagi mereka.
Suatu waktu Budu sempat meninggalkan anaknya untuk melanjutkan pendidikan di Jepang. Karena tidak sanggup berpisah lama, dia akhirnya memboyong anak dan istrinya ke negeri orang. Di sana lah awal mula anaknya mendapatkan pengalaman berharga menjadi tertib, pejuang, dan ramah ala negeri Sakura.
"Anak pertama saya laki-laki, Rizky Malik. Waktu saya melanjutkan pendidikan ke Jepang, anak itu sama neneknya. Dia cucu pertama di keluarga ibunya, jadi kayak didikan ala Bugis, penyayang dan penuh rasa hormat kepada yang lebih tua. Setahun kemudian, saya ajak ke Jepang, didikannya ala Jepang, disiplin, pejuang dan pekerja keras," kisahnya.
"Saya juga heran, anak saya selesai dokter memilih untuk tugas pengabdian di Gorontalo yang jauh dari keluarga. Tak lama sesudah itu dengan perjuangan yang kuat, terutama dari segi Bahasa Inggris, Rizky lolos kuliah Master Course di Glasgow University Scotland dengan beasiswa LPDP, sekarang ini dia sudah kembali ke tanah air dan berniat melanjutkan program doktoralnya di sana juga. Anak saya ini Hafids AlQur
an 30 Juz, bisa dites," ungkap Prof. Budu.
Dua tahun di Jepang, anak keduanya lahir, Aisyah Muthmainnah. Anak ini mandiri, sabar, telaten seperti ibunya dan dekat sekali dengannya. Sekarang sudah menjadi dokter dan tugas internship Kemenkes selama saru tahun. Sebelum masuk Kedokteran jalur tulis/UTBK dia mendapatkan pendidikan menengah di SMA Andalan Tinggi Moncong, Gowa.
Tinggal di sana selama 3 tahun, Pendidikannya keras, disiplin dan mandiri.
Sedangkan anak terakhir laki-laki, Afdal Amin, calon dokter juga, SMA Boarding School Insan Cendikia Madani di daerah Ciater Jakarta selama 3 tahun. Aktif organisasi dan olah raga. Saat di Insan Cendikia dia jadi salah satu nominator yang direkomendasikan sehingga bisa mengunjungi Pesantren Madani Nusantara asuhan Ustaz Shamsi Ali selama 2 bulan.
"Ketiga anak saya ini sekalipun sangat dekat dengan orang tua, tapi untuk dasarnya yang kuat semuanya saya sekolahkan di boarding school. Anak pertama itu lulus SD Athirah Bukit Baruga saya sekolahkan di pesantren Ar-Rahmah Hidayatullah Sengkaling, di Malang dan lanjut SMP Universitas Muhammadiyah Makassar. Anak kedua SD dan SMP di Sekolah Islam Athirah Bukit Baruga dan SMA Unggulan Tinggi Moncong, Gowa dan anak ketiga saya setelah selesai SD-SMP Islam Athirah lanjut SMA nya di Insan Cendikia Madani, Ciater, Jakarta," terangnya.
Yang penting bagi Prof Budu, pada awalnya anak-anak terisi jiwa raganya dengan dasar-dasar agama dan mampu mandiri dari awal, bergaul dengan banyak teman.
Budu dan istrinya tidak merasa khawatir dengan aktivitas anak-anak di luar rumah hingga saat ini. Sebab, mereka sudah memiliki dasar dan pondasi yang kuat. Itu juga yang menjadi resep kesuksesan anak-anaknya. Semuanya dokter dan hafidz Al-Qur'an.
Salah satu treatmentnya, Prof Budu tak pernah minder membopong anak ke masjid. Lagu tidur untuk anak adalah lagu dia sendiri, dan lantunan ayat-ayat Al-Qur'an. Juga sesekali bercerita tentang kisah-kisah masa dulu waktu di kampung yang penuh tantangan dan perjuangan.
Budu mengaku, untuk mendidik anak menjadi sukses dan baik, kuncinya sederhana. Dekat dengan anak, ajak komunikasi, ajarkan menghormati sesama dan kepada yang lebih tua, juga haram hukumnya mencercanya, membuatnya kecewa, minder dan malu di depan orang tuanya.
"Makanya anak saya itu saya mandikan, kalau tidur saya selalu temani, saya antar ke sekolah, tidak pernah saya pegang kayu. Kalau neneknya datang itu dia manja, saya tidak larang karena itu mengikat psikologi dan belajar nilai-nilai kehidupan dari yang lebih tua," jelasnya.
"Sejak kecil saya ikutkan saja mereka ke masjid untuk main-main dan melihat kami salat, saat tidur, terjaga atau di mobil saya mengaji dan mereka lalu menyimak saja atau main-main dekat saya. Dulu di saat mereka masih kecil, saya cuci piring di dapur mereka main-main di ruang tamu," lanjutnya.
Mungkin efek itu tanpa disadari secara alami, saat ini setelah remaja mereka-merekalah yang kadang mengajak atau membangunkannya untuk ke masjid. Terkadang mereka bertiga sibuk saling ajar hafal Al-Qur`an, bahkan di tempat tidur sekalipun padahal mereka sudah lelah dari praktek.
"Sudah sekian lama saya tidak pernah lagi cuci piring, kalau orang di rumah tidak ada atau libur, bekas-bekas makanan dan piring-piring bertumpuk dicucinya secara bergantian. Lancar semua itu anak saya cuci piring. Mungkin ini yang dinamakan mendidik dengan cara role model yah, mungkin yah karena ini alami saja," jelas Budu sambil tersenyum.
"Quality time sangat perlu, terkadang saya ajak mereka semua tidur di kamar ibunya, sama-sama. Saya juga lebih suka mendengar cerita-cerita mereka dan tidak mau mengecewakan. Bahkan kami selalu menjadwalkan jalan liburan keluarga bersama saat- saat liburan; menghargai jerih payahnya anak-anak setelah belajar keras. Hari terima rapor atau nilai semesteran adalah nama lain dari hari-hari hadiah dari ayah dan ibu. Sekalipun nilai tidak rangking, saya tidak kecewa, semua jempol. Karena saya sudah lihat usahanya, yang dihargai adalah kerjanya dan usahanya bukan nilai rapornya," tuturnya.
Karena itu pula anak-anaknya menjadi pribadi yang jujur dan menghargai orang tua. Bahkan ketika ada barang penting berserakan, tidak akan diganggu, hanya diamankan. "Dompet tergeletak saja tidak ada yang hilang, biar uang Rp2.000 mereka tidak mau ambil," imbuhnya.
Namun begitu, bukan berarti semua keinginan anak harus dituruti. Dia punya kesepakatan, jika ibu (istri)-nya melarang, maka dia juga tidak akan memberikan. "Anak-anak sudah tahu, kalau ibunya melarang, pasti tidak lolos sama ayah. Jadi kalau ada keputusan kontroversi, saya rembukkan sama ibunya," sambungnya.
Bahkan dia mengaku, di keluarganya seperti ada norma tidak tertulis. Jika anak-anak memiliki hal pribadi yang ingin dibicarakan, maka diceritakan kepada ibunya. Tetapi jika berkaitan dengan tugas kuliah atau pekerjaan, larinya ke Budu.
"Jadi saya lebih senang bikin suasana meriah, lucu dan cair. Saya itu tidak perlu memaksa mereka, saya cukup buat teratur. Sekarang saya senang dengan anak-anak, padahal waktu kecil punggung dan leher saya dinaiki dan diinjak-injak, saya terkadang dicakar saat mereka jengkel, yah anak-anak. Saya tidak pernah melihat dan mendengar anak-anak saya itu menangis meraung raung dan berteriak-teriak sebab saya selalu mencegahnya dengan bujukan dan rayuan ala saya sendiri. Tidak ada batas, kalau berkelahi ya berkelahi," tuturnya.
Prof Budu juga menekankan keterbukaan kepada keluarganya. Sehingga, ke mana pun dia pergi, anak-anaknya selalu tahu. Dia juga tidak pernah pilih kasih. Jika ada satu yang diberi sesuatu, maka yang lain juga dapat.
Sehingga mereka merasa dapat perhatian yang sama, tidak ada pilih kasih. Hari berlibur tidak jadi atau batal kalau tidak lengkap, mereka bersaudara merasa kehilangan jika ada yang tidak bersama, akur anak-anak saya.
"Dari kitanya dulu sebagai orangtua harus punya perilaku yang baik, etika yang mulia. Kita harus menjadi contoh, perlihatkan cara yang baik. Kemandiriannya harus dibentuk sejak dini, beri tanggung jawab. Kalau belum berhasil, beri semangat, jangan buat mereka rendah hati, jadikan mereka selalu percaya diri," ucapnya.
Dia berpesan, karakter anak harus dibentuk dari dalam rumah. Sebab menurutnya, jika di rumah saja sudah tidak diberi dukungan, maka di luar sudah pasti anak jadi minder. Kepercayaan dirinya runtuh dan wibawanya luluh lantah.
"Saat ini Ibu dan ayah selalu ada di sisi kalian. Kau bisa hebat dalam segala hal. Saya yakin suatu masa kamu akan berlayar dengan caramu sendiri " Budu selalu mengatakan itu.