Oleh: Prof.dr. Budu, Ph.D, Sp.M (K), M.MedEd, Anggota Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah - Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
FAJAR.CO.ID -- Alhamdulillah, segala puji milik ALLAH SWT, Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Pemberi Hidayah, kepada-Nya kita semua memohon do`a, meminta petunjuk dan pertolongan, meminta kekuatan iman dan Islam, sehingga kita masih diberikan kesempatan untuk bertemu Ramadhan hingga hari ini dan dapat melewatiya dengan keadaan sehat walafiat.
Semoga dengan Idul Fitri hari ini kita termasuk golongan yang beruntung, diampuni dosa-dosa kita, diterima amal-amal kebaikan kita, dan kelak kita dimasukkan ke dalam surga Nya ALLAH SWT.
Shalawat beserta salam mari tetap kita tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW Nabi yang telah membawa syariat Islam kepada seluruh umat manusia, Nabi yang mengubah manusia dari zaman kebodohan hingga menjadi cahaya Islam. Dari tangan Nabi SAW juga, umat manusia menjadi umat yang bermartabat dengan iman, ilmu dan budi pekerti yang luhur.
Hari ini serentak kaum muslimin di segenap penjuru bumi serta di negeri kita ini menunaikan shalat Idul Fitri. Ucapan dan gema takbir, tahlil, tasbih, tahmid, dan dzikir kepada ALLAH SWT dilantunkan keseluruh penjuru dunia dengan hati yang khusyuk dan merasuk ke dalam hati kita masing-masing. Ucapan dzikir dan shalat Idul Fitri yang khusyuk ini semoga menjadi energi ruhani kita yang baru dalam menghidupkan jiwa yang fitri untuk menjadi manusia yang penuh takwa. Semoga kita yang menjalankan seluruh prosesi ibadah yang dituntunkan Nabi itu mendapat anugerah pencerahan diri sekaligus pahala di hadapan Ilahi Rabbi.
Maasyiral muslimin dan muslimat jamaah Idul Fitri yang dirahmati oleh ALLAH SWT
Puasa Ramadhan dan segenap ibadah-ibadah yang lain selama Ramadhan seharusnya tidak berhenti pada ritual semata sebab hakikatnya ibadah adalah pendekatan diri kepada ALLAH SWT (taqarrub Ila llah). Semua ini dilakukan demi terbentuknya kesalehan seorang muslim yang memiliki hubungan baik dengan ALLAH SWT sekaligus hubungan dengan sesama dan lingkungannya, sehingga terpancar rahmat bagi semesta alam.
ALLAH SWT berfirman ALLAH :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah : 183)
Pertanyaan yang teramat mendesak untuk dijawab oleh diri kita masing-masing adalah, ”Setelah Ramadlan berlalu, sudahkah kita menunaikan berbagai sebab yang akan mempermudah amalan kita di bulan Ramadlan diterima di sisi-Nya dan sudahkah kita bertekad untuk terus melanjutkan berbagai amalan ibadah yang telah kita galakkan di bulan Ramadlan?”.
Karena ketahuilah, sesungguhnya ALLAH Ta'ala tidak menilai Ramadan dan lebaran kita dari kemeriahannya, tapi bagaimana perubahan yang terjadi pada diri umatnya; apakah semakin taat dan mendekat kepada-Nya.
Mari kita bertanya dalam hati sanubari kita masing-masing, apakah dengan hari Raya Idul Fitri hari ini membuat kita bahagia, senang, sedih ataukah biasa-biasa saja ? Yakinkah kita bahwa amalan-amalan Ramadhan yang telah kita lakukan selama Ramadhan ini diterima oleh ALLAH SWT.
Maasyiral muslimin dan muslimat jamaah Idul Fitri yang dirahmati oleh ALLAH SWT
Sahabat Nabi Ali bin Abi Thalib RA, termasuk yang bersedih menjelang hari-hari akhir Ramadhan. Dikisahkan bahwa usai salat Ashar, setelah seharian beliau merasa sedih, karena bulan Ramadan akan segera berakhir, Sayyidina Ali ra. kemudian pulang dari masjid. Sesampainya di rumah sang istri tercinta Sayyidah Fathimah Az-Zahra ra bertanya kepadanya penuh perhatian, “Kenapa engkau terlihat pucat, kekasihku, tak ada tanda-tanda keceriaan sedikitpun di wajahmu, padahal sebentar lagi kita akan menyambut hari kemenangan ?. Ali hanya terdiam lesu, tak berapa lama kemudian ia minta pertimbangan sang istri untuk mensedekahkan semua simpanan pangannya kepada fakir miskin. “Hampir sebulan kita mendapat pendidikan dari Ramadan, bahwa lapar dan haus itu teramat pedih. Segala puji bagi ALLAH SWT, yang sering memberi hari-hari kita dengan perut sering terisi,” kata Ali.
Sore itu juga, beberapa jam sebelum takbir berkumandang, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib ra. terlihat sibuk mendorong pedatinya, yang terdiri dari tiga karung gandum dan dua karung kurma hasil dari panen kebunnya. Ia berkeliling dari pojok kota dan perkampungan untuk membagi-bagikan gandum dan kurma itu kepada fakir miskin dan yatim/piatu.
Para sahabat Rasulullah SAW adalah orang-orang yang paling antusias dalam menyempurnakan dan melakukan hal terbaik dalam beramal. Mereka juga antusias agar amalnya diterima. Mereka sangat takut amalnya ditolak dan tidak diterima. Mereka itulah sekelompok manusia yang Allah nyatakan dalam Al-Quran
melalui firman-Nya:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Al Mukminun: 60).
Aisyah Ra bertanya, “Wahai Rasulullah, orang-orang yang memberikan sesuatu yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut; apakah mereka itu orang yang mencuri, berzina, minum khamr, kemudian mereka takut kepada ALLAH?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, wahai putri Abu Bakar. Mereka adalah orang yang shalat, berpuasa, bersedekah, namun mereka takut amal mereka tidak diterima.” (Hr. Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).
’Ali bin Abi Thalib RA berkata hendaklah kalian lebih memperhatikan bagaimana agar amalan kalian diterima daripada hanya sekedar beramal. Tidakkah kalian menyimak firman ALLAH ’azza wa jalla, [إِنَّمَا يَتَقَبَلُ اللهُ مِنَ اْلمُتَّقِيْنَ] “Sesungguhnya ALLAH hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Al Maaidah: 27).”
Abdul Aziz bin Abu Rawad mengatakan, “Saya bertemu para sahabat, dan mereka adalah orang yang sangat sungguh-sungguh dalam beramal saleh. Setelah mereka selesai beramal, mereka bingung dan kuatir apakah amal mereka diterima ataukah tidak diterima di sisi ALLAH SWT.”
Marilah kita meneladani Rasulullah dan generasi sahabat, hati mereka merasa sedih seiring berlalunya Ramadlan. Mereka merasa sedih karena khawatir bahwa amalan yang telah mereka kerjakan di bulan Ramadlan tidak diterima oleh ALLAH SWT. Mereka (para sahabat) berdo’a kepada ALLAH selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan berikutnya.
Kemudian mereka pun berdo’a selama 6 bulan pertama agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya. Mereka juga sangat berkonsentrasi dalam menyempurnakan dan menekuni amalan yang mereka kerjakan kemudian setelah itu mereka memfokuskan perhatian agar amalan mereka diterima, mereka sangat khawatir kalau-kalau amalan tersebut tertolak.
Maasyiral muslimin dan muslimat jamaah Idul Fitri yang dirahmati oleh ALLAH SWT
Apa yang menjadi petanda bahwa amalan-amalan Ramadhan kita penuh berkah dan diterima oleh ALLAH SWT. Sesungguhnya tanda yang bisa menggambarkan diterimanya amal-amal kita sesudah bulan Ramadhan adalah keistiqamahan dalam beramal shalih.
Berbagai amal dilakukan di bulan suci dikerjakan dan berlanjut kembali secara kontinu pada bulan-bulan sesudahnya. Salah satu contohnya adalah puasa yang telah kita laksanakan sebulan penuh ini berlanjut pada puasa-puasa sunnah yang dikerjakan setelah Ramadhan, seperti puasa 6 hari pada bulan Syawal, puasa Senin dan Kamis dan puasa-puasa sunnat yang lainnya. Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
”Siapa yang mengerjakan puasa Ramadlan, kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa di bulan Syawwal, maka itu adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim).
Intinya, amal puasa tetap dijalankan secara istiqamah di luar bulan Ramadhan. Pahala kebaikan adalah kebaikan yang dikerjakan setelahnya. Maka barangsiapa yang melakukan kebaikan kemudian diikuti dengan kebaikan, maka itu tanda bahwa kebaikan pertamanya diterima.
Sebagaimana juga, orang yang telah mengamalkan kebaikan kemudian diikuti dengan keburukan (amal jelek) maka itu tanda bahwa kebaikan (pertamanya) ditolak.
Begitu juga dengan amalan mulia membaca Al-Qur`an, tidak hanya dilakukan saat Ramadhan saja akan tetapi sebaiknya dilakukan secara berkesinambungan pada bulan-bulan berikutnya bahkan ditingkatkan kualitasnya, dibaca arti dan ditadabburi maknanya. Nabi pernah berpesan terhadap orang yang menanyakan amal yang paling dicintai oleh ALLAH SWT :
«الحَالُّ المُرْتَحِلُ» . قَالَ: وَمَا الحَالُّ المُرْتَحِلُ؟ قَالَ: «الَّذِي يَضْرِبُ مِنْ أَوَّلِ القُرْآنِ إِلَى آخِرِهِ كُلَّمَا حَلَّ ارْتَحَلَ
“AL-HALLU dan AL MURTAHILU.” Dia bertanya: “Apakah yang dimaksud AL- HALLU dan AL MURTAHILU?” beliau menjawab: “Yaitu orang yang terus menerus menyambung (selalu mengkhatamkan) dari awal Al-Qur`an sampai akhir, seusai itu dia memulainya lagi.” (HR. Tirmidzi).
Apalagi jika amal shalih ini bisa kontinu hingga akhir hayat. Maka orang demikian disebut Nabi sebagai orang yang dikehendaki Allah mendapat kebaikan.
«إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ» فَقِيلَ: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ المَوْتِ»
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan menggunakannya.” Lalu ditanyakanlah pada beliau, “Bagaimanakah Allah menggunakannya wahai Rasulullah?”
“Dia akan memberinya taufiq untuk beramal shalih sebelum dijemput kematian.” (HR. Tirmidzi)
Shalat malam /qiyamul lail/Tarawih saat bulan Ramadhan, juga perlu dijaga di bulan lainnya sebagai bentuk rasa syukur kepada ALLAH SWT. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْل
”Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim nomor 1163).
Suatu ketika, A’isyah melihat Nabi shalat malam hingga kakinya bengkak. Maka istri tercintanya itu bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa Anda melakukan ini padahal ALLAH telah mengampuni dosa Anda yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau bersabda: “Apakah aku tidak suka jika menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari).
Contoh lainnya yang perlu diperbanyak dan terus dilakukan adalah menjaga shalat sunnah Rawatib yang berjumlah dua belas raka’at, yaitu empat raka’at sebelum shalat Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah Isya’ dan dua raka’at sebelum Subuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
”Seorang hamba yang senantiasa mengerjakan shalat karena Allah pada setiap harinya sebanyak dua belas raka’at dalam bentuk shalat sunnah dan bukan termasuk shalat wajib, maka niscaya Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di dalam surga.” (HR. Muslim).
Ini berarti ada hal lebih penting setelah diberi taufik untuk beramal, yaitu rasa syukur kepada Nya yang dimanifestasikan dalam amalan-amalan shalih selanjutnya yang berkesinambungan.
Maasyiral muslimin dan muslimat jamaah Idul Fitri yang dirahmati oleh ALLAH SWT
Marilah kita berdoa semoga kita mampu terus menjaga, mengabadikan dan bahkan membudayakan amal-amal kebaikan kita yang selama ini lakukan. Sebagian orang bijak mengatakan diantara balasan bagi amalan kebaikan adalah amalan kebaikan yang ada sesudahnya. Sedangkan hukuman bagi amalan yang buruk adalah amalan buruk yang ada sesudahnya.
Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan amalan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.
Jika ALLAH SWT menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. ALLAH SWT berfirman,
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى .وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى .فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى
”Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga). Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (Al Lail: 5-7).
Tentu hari ini kita berharap agar kebaikan-kebaikan kita yang telah kita tunaikan selama ini kuantitas dan kualitasnya bisa kita tingkatkan. Jangan lah amalan kebaikan kita ini bahkan menjadi surut dan berkurang apalagi jika kita menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ini berarti kita termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran.
Hal ini tentu menjadi petanda puasa dan ibadah lain kita tidak akan diterima. Kita bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. ALLAH ta’ala berfirman:
وَلا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali “(An-Nahl: 92).
Para sahabat Rasulullah SAW dan orang -orang saleh sesudahnya sangat jelas memasrahkan seluruh amalannya kepada ALLAH SWT dan tak seorang pun yang tahu amalnya diterima atau tidak, tapi kegelisahan dan kegundahan tersebut menunjukkan kepedulian tentang kualitas amal dan iman mereka.
Hari Raya Idul Fitri 1446 H yang kita laksanakan hari ini semoga kembali menjadi momentum yang tepat untuk kita lanjutkan amalan kebaikan kita, diperbanyak dan semakin dimurnikan. Demikian pula kita semakin meminimalkan pekerjaan kita yang sia-sia. Semoga Ramadhan tahun berikutnya masih bersama dengan kita semua. Amin. Wassalam.
Khutbah Salat Idul Fitri 1446 H di Lapangan KH Sanusi Maggu, Kampus II UMPAR, Kota Parepare, Sulawesi Selatan, 31 Maret 2025.