FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie, turut menanggapi dampak kebijakan ekonomi global terbaru yang dilancarkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Dikatakan Jimly, kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan secara agresif oleh Trump terhadap berbagai negara berpotensi memicu deglobalisasi bisnis.
Di antaranya, kata Jimly, bangkitnya nasionalisme ekonomi, hingga terbentuknya pola baru dalam regionalisme ekonomi.
“Perang tarif yang dilancarkan AS akan memicu deglobalisasi bisnis, bangkitnya nasionalisme, dan regionalisme ekonomi baru,” ujar Jimly di X @JimlyAs (7/4/2025).
Ia menilai, meskipun kebijakan tersebut membawa banyak ancaman terhadap stabilitas perdagangan global, namun Indonesia harus mampu membaca peluang yang tersembunyi di balik gejolak tersebut.
Jimly bilang, inilah saat yang tepat bagi Indonesia untuk mendorong gerakan kemandirian ekonomi yang berakar pada nilai-nilai konstitusi.
“Ada banyak ancaman, tapi ada pula peluang untuk bangkitnya gerakan kemandirian ekonomi nasional berdasarkan konstitusi ekonomi,” tegasnya.
Sebelumnya, Managing Director PEPS, Anthony Budiawan, menyebut kebijakan tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump sebagai pemicu gejolak pasar global.
Dikatakan Anthony, saat ini dunia sedang terguncang. 3 April 2025 lalu bursa saham global membara.
"Indeks Dow Jones turun 3,98 persen, S&P 500 turun 4,84 persen, Nasdaq turun 5,97 persen," ujar Anthony kepada fajar.co.id, Minggu (6/4/2025).
Di Eropa, kata Anthony, indeks DAX Jerman turun 3,01 persen, FTSE 100 Inggris turun 1,55 persen, CAC 40 Perancis turun 3,31 persen, dan AEX Belanda turun 2,67 persen.
Sebelumnya, indeks Nikkei 225 Tokyo anjlok 2,77 persen, Hang Seng Hong Kong minus 1,52 persen, Kospi Korea Selatan minus 0,76 persen.
"Hari ini, bursa saham global masih lanjut merah," ucapnya.
Lanjut Anthony, episentrum guncangan disebabkan oleh kebijakan Presiden Donald Trump yang resmi memberlakukan tarif impor tambahan, yang disebut tarif resiprokal, kepada hampir semua negara di dunia.
"Trump berpendapat, perdagangan dunia selama ini tidak adil dan merugikan Amerika Serikat," Anthony menuturkan.
Tambahnya, tarif impor AS relatif jauh lebih rendah dibandingkan tarif impor negara partner dagang lainnya, seperti China, dan juga Indonesia.
"Akibatnya, neraca perdagangan AS mengalami defisit dengan hampir seluruh negara mitra dagang," sebutnya.
Dijelaskan Anthony, defisit neraca perdagangan AS tahun 2022, 2023 dan 2024 masing-masing mencapai 951,2 miliar (2022), 773,4 miliar (2023), dan naik lagi menjadi 918,4 miliar dolar AS pada 2024.
"Trump memberlakukan tarif impor resiprokal untuk mengurangi defisit neraca perdagangan AS, dengan menyetarakan tarif impor AS dengan tarif impor negara mitra dagang lainnya," imbuhnya.
Lanjut Anthony, Trump mengenakan tarif impor dasar 10 persen kepada semua negara, ditambah tarif impor resiprokal yang besarnya bervariasi untuk setiap negara mitra dagang.
"Tergantung dari berapa selisih tarif impor kedua negara saat ini, dengan juga memperhatikan apakah ada hambatan non-tarif terhadap produk AS," jelasnya.
Anthony melihat, Trump memiliki target, negara yang masuk daftar ‘Dirty 15’, yaitu 15 negara yang menyumbang defisit terbesar kepada neraca perdagangan AS. Indonesia masuk dalam daftar ‘Dirty 15’.
"Indonesia dikenakan tarif resiprokal 32 persen, di atas tarif dasar 10 persen," terangnya.
Anthony bilang, negara yang dikenakan tarif resiprokal, termasuk Indonesia, hanya mempunyai dua pilihan. Menurunkan tarif impor terhadap semua produk AS, atau menerima kenaikan tarif resiprokal dengan lapang dada.
"Atau, pilihan ketiga. Kalau Indonesia merasa tarif resiprokal Trump tidak benar, atau ngawur, Indonesia bisa membalas dengan menaikkan tarif impor tambahan, alias tarif resiprokal, terhadap semua produk AS, yang nantinya pasti akan dibalas lagi oleh Trump?," tandasnya.
Lebih jauh, Anthony melihat negara seperti India hingga Vietnam tidak memiliki keberanian.
"Mereka memilih kompromi dan negosiasi. Yang jelas, dampak tarif resiprokal Trump sudah membuat ekonomi dunia terguncang, pasar saham global anjlok," kuncinya.
(Muhsin/fajar)