Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)
Makassar, kota pelabuhan yang kini menjadi ibu kota Sulawesi Selatan, sudah dikenal dunia sejak berabad-abad silam. Bahkan jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, pelabuhan ini telah menjadi salah satu simpul perdagangan penting di kawasan Asia Tenggara.
Salah satu jejak penting dalam sejarah kota ini adalah kehadiran para pedagang Tionghoa yang datang dan berbaur dengan masyarakat lokal, membawa serta pengaruh budaya dan ekonomi yang masih terasa hingga kini.
Awal Kedatangan: Disebut dalam Sumber Tiongkok Abad ke-13
Nama Makassar—atau Mangkasar—telah tercatat dalam sumber Tiongkok sejak masa Dinasti Yuan (1297–1307), disebut sebagai "Meng-jia-shi" dalam catatan pelabuhan Kanton (Nanhai).
Bersamaan dengan itu, daerah lain di Sulawesi Selatan seperti Bantaeng juga kemungkinan disebut dengan nama "Pin-di-xian". Namun, belum ada catatan pasti mengenai kehadiran orang Tionghoa secara langsung di Sulawesi Selatan pada masa itu.
Meski begitu, temuan keramik dari Dinasti Song yang tersebar di wilayah pedalaman menunjukkan bahwa kawasan ini telah terhubung dengan jalur perdagangan internasional. Besar kemungkinan, keramik-keramik itu datang melalui Maluku atau Filipina, yang saat itu telah memiliki hubungan dagang langsung dengan Tiongkok.
Si "Sanggalea" yang Rajin Datang
Dalam masyarakat Bugis-Makassar, orang Tionghoa dikenal dengan sebutan “Sanggalea”. Istilah ini mirip dengan "Sangley", istilah lama dalam bahasa Spanyol untuk menyebut orang Tionghoa di Filipina. Menariknya, dalam dokumen kuno Sino-Filipina abad ke-16, nama ini ditulis dengan karakter "Changlai" yang berarti “sering datang” — sebuah penanda hubungan dagang yang terjalin erat dan terus-menerus.
Sebuah tulisan tahun 1932 oleh Soehonghie, seorang keturunan Tionghoa dari Ampenan, menyebutkan bahwa para perantau pertama dari Tiongkok yang tiba di Makassar berasal dari Provinsi Fujian. Saat itu, Makassar masih sepi, belum ada kapal-kapal Eropa, dan hanya satu jung besar dari Tiongkok yang berlayar setiap tahun, membawa ratusan penumpang.
Jung, Arak, dan Perdagangan Global
Kehadiran orang Tionghoa mulai tercatat lebih jelas saat Makassar menjadi pusat kerajaan Gowa-Tallo. Seorang kepala loji Inggris bernama George Cockayne melaporkan pada tahun 1615 bahwa ia menjual beras kepada seorang Tionghoa di Makassar yang memiliki usaha penyulingan arak. Menariknya, di tengah masyarakat lokal yang mayoritas Muslim, arak ini tampaknya dikonsumsi oleh kalangan Eropa dan Tionghoa.
Di tahun yang sama, sebuah jung Tionghoa tiba membawa sutra, porselen, dan barang dagangan lain yang dijual lebih murah daripada di Banten. Laporan dari tahun 1619 menyebut bahwa jung tersebut adalah yang pertama kali tiba di Makassar, meski ini patut ditinjau ulang karena kemungkinan ada jung sebelumnya yang tidak tercatat secara resmi.
Asimilasi dan Perkawinan Antarbangsa
Sebuah kisah menarik muncul dari naskah Melayu berjudul Sedjarah Melajoe di Makassar, yang menceritakan tentang seorang pedagang Tionghoa Muslim yang hijrah ke Sulawesi Selatan, mungkin karena kekacauan politik di akhir Dinasti Ming.
Ia menikahi putri bangsawan lokal dari Sanrabone dan kemudian keturunannya menikah dengan keluarga bangsawan lainnya. Perpaduan ini menunjukkan betapa eratnya integrasi orang Tionghoa dengan masyarakat Melayu di Makassar.
Dominasi Perdagangan Kulit Penyu
Menjelang pertengahan abad ke-17, para pedagang Tionghoa mulai menguasai perdagangan barang mewah seperti kulit penyu jenis Cheledonia imbricata. Kulit ini sangat dicari di Tiongkok, India, hingga Eropa. Di Sulawesi Selatan, masyarakat Bajau dan Bugis menjadi pemasok utama, dan kulit penyu dikumpulkan dengan berbagai cara—dari yang brutal hingga yang lebih ramah lingkungan.
Orang Tionghoa bahkan memiliki metode khusus: membalik penyu, menuangkan cuka panas hingga sisiknya terlepas, lalu melepaskannya kembali ke laut agar tumbuh kembali. Meski tidak setebal sebelumnya, sisik baru ini tetap bernilai tinggi.
Kerjasama Finansial dengan VOC
Peran orang Tionghoa tidak berhenti sebagai pedagang barang. Mereka juga menjalin hubungan bisnis dengan VOC, perusahaan dagang Belanda yang mendominasi Asia Tenggara pada abad ke-17. VOC memberikan pinjaman kepada pedagang Tionghoa dan menunjuk mereka sebagai mitra untuk mengumpulkan barang dagangan. Seorang kapitan Tionghoa bernama Tamco bahkan tercatat sebagai peminjam terbesar kedua setelah saudagar India.
Dalam surat keluhan pedagang Inggris tahun 1665, disebutkan bahwa orang Tionghoa mendapat komisi 5% dari VOC untuk setiap barang yang berhasil dikumpulkan, sementara Inggris harus membayar tunai. Hal ini membuat pedagang Tionghoa enggan berurusan dengan pihak Inggris.
Kisah orang Tionghoa di Makassar bukan hanya cerita tentang perdagangan dan migrasi, tapi juga tentang pertemuan budaya, adaptasi, dan kontribusi penting terhadap sejarah ekonomi dan sosial kawasan ini.
Dalam bayang-bayang pelabuhan tua dan jejak-jejak kampung Tionghoa yang kini mungkin telah berubah wujud, tersimpan kisah panjang tentang relasi antarbangsa yang saling mengisi dan bertumbuh bersama. (*)