FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, melontarkan kritik terhadap pernyataan Bareskrim Polri yang menyebut tidak ada kerugian negara dalam kasus dugaan pemalsuan izin di proyek pagar laut Tangerang.
Said Didu mempertanyakan dasar dan kewenangan kepolisian dalam menentukan ada atau tidaknya kerugian negara dalam sebuah perkara.
"Kok polisi yang memutuskan bahwa tidak ada kerugian negara? Makin jelas," kata Said Didu di X @msaid_didu (11/4/2025).
Said Didu menyoroti bahwa keputusan mengenai kerugian negara seharusnya berada di tangan auditor negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau lembaga terkait, bukan aparat penegak hukum seperti kepolisian.
Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri telah merespons petunjuk dari Kejaksaan Agung terkait berkas kasus dugaan pemalsuan dokumen dalam penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang.
Kasus ini juga berkaitan dengan pembangunan pagar laut yang tengah menjadi sorotan publik.
Penyidik menyatakan bahwa hasil telaah terhadap petunjuk jaksa dalam P-19 tidak mengarah pada tindak pidana korupsi.
"Kami sudah membaca dan mempelajari petunjuk P19 dari Kejaksaan. Penyidik berkeyakinan perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi," kata Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandhani Rharjdjo Puro, di Mabes Polri, Kamis (10/4/2025) kemarin.
Seperti diketahui, berkas perkara milik empat tersangka dalam kasus ini sempat dikembalikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada 24 Maret 2025.
JPU menilai bahwa terdapat unsur-unsur pelanggaran hukum yang mengarah pada korupsi, termasuk pemalsuan dokumen, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat, serta dugaan adanya gratifikasi atau suap.
Menurut analisa jaksa, sertifikat HGB dan SHM yang diterbitkan di atas wilayah perairan laut Desa Kohod diduga digunakan untuk meraup keuntungan ilegal dalam proyek pengembangan kawasan PIK 2 Tropical Coastland.
Menanggapi permintaan tersebut, Djuhandhani menyebut pihaknya telah mengkaji secara mendalam bersama para ahli, termasuk dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hasilnya, hingga kini belum ditemukan bukti adanya kerugian negara.
Penilaian tersebut merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menegaskan bahwa unsur kerugian negara dalam tindak pidana korupsi harus nyata dan terukur.
Djuhandhani juga menekankan bahwa lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara hanya BPK dan BPKP. Oleh karena itu, penyidikan tetap mengacu pada peraturan dan prinsip hukum yang berlaku. (Muhsin/Fajar)