Menelusuri Hukum Adat Bugis-Makassar dalam Naskah ‘Rapanna Arung Rioloé’

  • Bagikan
Naskah kuno "Rapanna Arung Rioloé"

Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)

Naskah kuno "Rapanna Arung Rioloé" menyuguhkan warisan kearifan lokal yang tak ternilai dari masyarakat Bugis-Makassar. Ditulis dalam bentuk pesan-pesan bijak kepada para pemimpin adat dan hakim, teks ini menjadi bukti bahwa hukum adat telah berperan sebagai pilar utama dalam mengatur kehidupan sosial masyarakat Bugis sejak masa lampau.

Hukum adat yang tercantum dalam naskah ini bukan sekadar aturan formal, melainkan panduan moral dan sosial yang berlandaskan logika, keadilan, dan rasa kemanusiaan. Masyarakat Bugis pada zamannya telah menerapkan sistem hukum yang kompleks dan sistematis, lengkap dengan mekanisme pembuktian, pertimbangan saksi, serta aturan tentang tanggung jawab dan hak.

Pembuktian Kasus Sihir dan Racun

Salah satu sorotan utama dalam naskah adalah cara masyarakat Bugis mengadili tuduhan meracuni atau menyantet. Proses pembuktian melibatkan saksi yang terpercaya dari kedua belah pihak—baik tertuduh maupun korban. Jika tertuduh memiliki alibi kuat, maka ia dibebaskan. Namun, apabila korban memiliki saksi yang melihat langsung tindakan mencurigakan, kasus tersebut disidangkan dengan serius.

Pendekatan ini menunjukkan bahwa masyarakat Bugis telah memahami pentingnya asas praduga tak bersalah dan pembuktian yang adil, bahkan dalam kasus yang sarat dengan unsur mistik.

Tentang Kepemilikan dan Harta Raja

Naskah juga menyoroti betapa sakralnya harta benda milik raja. Barang yang dicuri dan kemudian ditemukan kembali dapat menjadi dasar hukuman berat bagi pencuri. Harta raja, bahkan yang tampak sepele seperti jarum rusak, tetap dianggap tak ternilai harganya. Hanya raja yang memiliki wewenang untuk memberikan pengampunan.

Namun, raja juga diingatkan agar berlaku adil. Jika tidak, maka rakyat memiliki hak moral untuk meninggalkannya dan mencari pemimpin yang lebih bijak dan adil.

Ganti Rugi dan Nilai Keadilan

Dalam hal ganti rugi, naskah mencatat pandangan plural: ada yang menganggap barang bekas dan baru memiliki nilai yang sama, ada pula yang membedakan. Namun secara umum, asas keadilan tetap dijunjung—semakin besar keinginan untuk menolong, semakin tinggi ganti rugi yang diberikan. Ini menunjukkan nilai solidaritas yang kuat dalam struktur sosial Bugis.

Menangani Kesalahan Baru dan Tak Tertulis

Bagi pelanggaran yang belum memiliki preseden hukum, naskah memberikan fleksibilitas dalam pemberian hukuman, dari penangkapan, pengasingan, hingga hukuman mati. Hal ini memperlihatkan kesadaran akan dinamika sosial yang terus berkembang, serta pentingnya kebijaksanaan dalam memutuskan perkara yang belum memiliki rujukan hukum.

Etika Pelayan dan Penjaga Raja

Etika kerja dan moralitas menjadi hal penting dalam tatanan istana. Para pelayan Arung (raja) memiliki aturan yang sangat ketat, terutama dalam menjaga kehormatan, makanan, dan benda pusaka. Kesalahan kecil bisa berujung pada hukuman berat, termasuk kehilangan nyawa, terutama jika melanggar norma asusila dalam rumah Arung.

Begitu pula dengan guru bagi para pelayan kerajaan. Mereka diminta menjadi contoh moral, bertanggung jawab atas perilaku bawahan, dan menghindari sikap tamak atau menerima suap. Pengawasan ketat atas makanan raja menunjukkan tingkat kehati-hatian luar biasa terhadap keselamatan dan martabat pemimpin.

Tentang Perselisihan dan Tanggung Jawab Sosial

Naskah ini juga memberikan panduan moral bagi masyarakat umum: bila ada perselisihan, wajib dileraikan. Mereka yang membiarkan kezaliman terjadi tanpa intervensi dianggap bersalah. Ini menggarisbawahi nilai tanggung jawab sosial dalam budaya Bugis, di mana ketidakpedulian terhadap ketidakadilan adalah dosa moral.

Warisan dan Hukum Keluarga

Dalam hal warisan, kejelasan hubungan darah dan legalitas sangat ditekankan. Jual beli atau penggadaian yang dilakukan oleh pihak tak berhak dianggap tidak sah, dan pembeli diwajibkan mengembalikan kepada ahli waris sah. Keadilan tidak hanya menyangkut harta, tapi juga pengakuan atas hak keluarga.

Refleksi Akhir: Moralitas dan Nilai Leluhur

Penutup naskah memberikan refleksi mendalam tentang moralitas, hubungan suami-istri, dan pentingnya memilih pasangan hidup yang berasal dari keluarga dengan moral baik. Perempuan yang cerdas, berakhlak, dan berasal dari keluarga baik diibaratkan sebagai emas murni, dan anak-anak dari keluarga demikian adalah permata yang berharga.

Dalam era modern, pelajaran dari "Rapanna Arung Rioloé" masih sangat relevan. Hukum yang adil, tanggung jawab sosial, kesetiaan moral, dan penghormatan terhadap nilai leluhur tetap menjadi fondasi penting dalam membangun masyarakat beradab.

Naskah kuno ini bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga cermin nilai-nilai keadilan universal yang melintasi zaman. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan