FAJAR.CO.ID,MAKASSAR — Penerapan tarif impor 32 persen Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia dikhawatirkan. Bisa berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar), Arief R Pabettingi menilai kebijakan itu berdampak pada volume ekspor ke AS.
“Karena dengan adanya 32 resensi, pasti akan mengurangi komoditi yang diekspor,” kata Arief kepada fajar.co.id, Jumat (11/4/2025).
Sementara itu, Indonesia diketahui memang mengekspor sejumlah komoditi ke AS sejak dulu. Terutama tekstil.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, total ekspor Indonesia ke AS pada Januari-Februari 2025 tercatat US$ 4,677 miliar. Lebih tinggi dibanding Januari-Februari 2024 sebesar US$ 4,091 miliar.
“Ada banyak kondisi barang yang sudah puluhan tahun diekspor ke Amerika. Misalnya tekstil, sektor perikanan. Tapi dari total itu, sektor tekstil, terus kaos. Kan AS daerah dingin. Kaos kaki, produk elektronik, perikanan, dan kopi,” jelas Arief.
Khusus di Sulsel sendiri, Arief mengatakan memang ekspor ke AS tidak besar. Dibanding negara lain seperti China.
“Sulsel ke Amerika itu sangat kecil. Karena hanya potensi di sektor perikanan. Paling ikan tuna, udang, dan ikan filet. Angkanya saya tidak terlalu tahu. Tapi nilainya kecil,” ujarnya.
Namun ia tak membeberkan nilai ekspornya. Tapi jika melihat total volume kontainer saja. Ekspor dari Sulsel ke Amerika, paling banyak bisa 10 kontainer per bulan.
“Kalau negara lain, kan China terbesar. Terus ke Jepang, Malaysia, Vietnam, sama negara Eropa. Kalau ke China lebih banyak nikel dan rumput laut,” imbuhnya.
Jika tarif impor AS 32 persen diberlakukan, maka menurutnya akan ada tekanan. Harga produk Indonesia ketika tiba di AS juga akan mahal.
“Pasti akan mahal ketika sampai di Amerika. Karena ada biaya yang dibayarkan pengusaha. Itu dampaknya yang tidak bagus,” terangnya.
Jika itu terjadi, maka volume ekspor Indonesia ke AS akan menurun. Sehingga berdampak pada ketenagakerjaan.
“Bukan hanya karena kebijakan ini sebenarnya. Tapi kan sudah terjadi, misalnya Siritex. Ditambah dengan kebijakan AS ini, ujungnya mengurangi volume, otomatis mengurangi tenaga kerja. Nah ujungnya pasti PHK,” jelasnya.
“Kedua, ada juga PHK. Tidak juga masal. Tapi pengangguran bertambah,”. Sambung Arief.
(Arya/Fajar)