Prabowo Hapus Kuota Impor, Komisi IV DPR: Salah Sistem Bisa Ancam Ketahanan Pangan dan Banjir Produk Impor

  • Bagikan
Ilustrasi impor beras (foto Antara)

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Komisi IV DPR RI mengingatkan potensi ancaman dari kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menghapus kuota impor dan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada siapa saja untuk melakukan impor. Bila salah sistem, kebebasan melakukan impor bisa mengancam ketahanan pangan nasional.

Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan memberikan sejumlah catatan terkait gagasan Presiden Prabowo Subianto yang ingi menghapus kuota impor komoditas strategis.

Menurutnya, gagasan tersebut harus dipikirkan secara matang karena memiliki konsekuensi serius terhadap nasib petani, nelayan, dan peternak dalam negeri. Penghapusan kuota impor berpotensi mengganggu ketahanan pangan nasional.

“Kita tentu mendukung reformasi kebijakan yang transparan dan adil, tetapi menghapus kuota impor secara terbuka tanpa sistem pengendalian yang kuat sangat berisiko. Jangan sampai niat membuka akses pasar, justru menjadi jalan bagi produk asing membanjiri pasar domestik, mematikan produksi rakyat,” ujar Daniel Johan, Jakarta, Jumat (11/4/2025).

Kebijakan pembatasan produk impor melalui penerapan sistem kuota selama ini berfungsi sebagai alat kontrol negara untuk melindungi sektor pangan dalam negeri. Dia menilai pemerintah tetap harus mengatur kuota impor agar terbebas dari praktik rente, monopoli, dan permainan kartel.

“Yang perlu dibenahi adalah tata kelola kuotanya, bukan dihapus. Sistem neraca komoditas harus dijalankan secara terbuka dan akuntabel, serta berbasis data riil produksi dan konsumsi nasional,” kata Daniel.

Memang, sistem impor selama ini memiliki banyak celah dan berpotensi membahayakan sektor pertanian serta ketahanan pangan nasional. Dalam berbagai evaluasi dan diskusi, sistem kuota impor terbukti bukan hanya tidak efektif, tetapi juga menjadi sumber persoalan struktural yang berlarut-larut.

“Kebijakan kuota impor selama ini telah digunakan secara diskriminatif, membuka ruang besar bagi kartel impor, serta menjadi ladang subur bagi praktik jual-beli kuota yang berujung pada kerugian petani dan konsumen,” tutur dia.

Bahkan, meski pemerintah sudah mengendalikan impor melalui sistem kuota, jutaan ton beras impor masuk ke Indonesia tahun lalu. Jumlahnya melebihi kuota yang telah ditetapkan. 

Praktik ini terbukti merugikan petani lokal, terlebih saat impor dilakukan bersamaan dengan masa panen raya. Daniel menuturkan kuota impor juga sebagai bentuk diskriminasi terhadap negara pemasok dan importir.

"Di sisi lain, masyarakat sebagai konsumen akhir harus menanggung mahalnya harga pangan akibat sistem yang tidak adil tersebut," ucap dia.

Dia mendorong pemerintah untuk segera mengalihkan sistem dari kuota menjadi tarif. Melalu sistem tarif, ia menyakini proses impor akan lebih transparan, adil, dan efektif dalam menjaga stabilitas ekonomi sekaligus melindungi petani dan industri lokal.

“Karena kalau sampai salah sistem justru bisa mengancam tujuan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Neraca perdagangan dan produk unggulan lokal harus menjadi pegangan utama dalam pengambilan kebijakan,” sebut Daniel.

Apalagi untuk komoditas yang tidak diproduksi dalam negeri seperti bawang putih atau bawang bombai, Daniel menilai penerapan tarif 0 persen justru tidak merugikan siapa pun karena tidak ada pesaing lokal.

"Impor tetap harus selektif dan mempertimbangkan neraca perdagangan serta substitusi produk dalam kerja sama bilateral. Untuk komoditas yang tidak diproduksi dalam negeri, seperti bawang putih dan bawang bombai, tarif 0 persen sudah cukup dan tidak merugikan siapa pun karena tidak ada pesaing lokal,” paparnya.

Namun demikian, Daniel mengingatkan perlindungan terhadap petani lokal harus tetap menjadi prioritas. Salah satunya melalui pemberian subsidi langsung yang memungkinkan produk dalam negeri tetap kompetitif terhadap barang impor.

Dia juga menilai bahwa penerapan tarif bukan berarti membuka keran impor seluas-luasnya. Impor tetap harus selektif dan mempertimbangkan keseimbangan neraca perdagangan nasional serta substitusi antarproduk dalam kerja sama bilateral. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan