FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap senilai Rp60 miliar terus menuai sorotan.
Aktivis Kolaborasi Rakyat Jakarta, Andi Sinulingga, menyampaikan kritik keras terhadap praktik mafia peradilan yang menurutnya telah menjadi modus standar dalam sistem hukum di Indonesia.
“Modus standar jual beli hukum, kolaborasi para pengusaha berduit dengan aparat penegak hukum,” ujar Sinulingga di X @AndiSinulingga (14/4/2025).
Dikatakan Sinulingga, praktik semacam ini bukan hanya menghambat kemajuan bangsa, tetapi juga merusak nilai-nilai dasar peradaban dan keadilan.
Ia menilai kekuatan kelompok semacam ini sudah seperti wabah yang sulit diberantas.
“Mereka itu dah seperti wabah, kuat sekali. Mereka bukan hanya menghambat kemajuan, tapi juga merusak peradaban bangsa,” tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), resmi ditahan bersama tiga orang lainnya terkait dugaan suap dan gratifikasi dalam penanganan perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan produk turunannya.
Penetapan keempat tersangka dilakukan usai penyidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) melakukan serangkaian penggeledahan di lima titik berbeda di wilayah Jakarta, Jumat (11/4/2025).
Dari penggeledahan tersebut, penyidik mengamankan sejumlah barang bukti berupa uang tunai dalam berbagai mata uang, di antaranya SGD 40.000, USD 5.700, 200 Yuan, serta lebih dari Rp150 juta dalam pecahan rupiah.
“Penyitaan juga dilakukan terhadap beberapa kendaraan mewah dari kediaman tersangka berinisial AR, seorang advokat. Di antaranya adalah Ferrari Spider, Nissan GT-R, dan Mercedes Benz,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, dalam keterangan pers pada Sabtu malam (12/4/2025).
Selain MAN dan AR, dua tersangka lain adalah WG, yang menjabat Panitera Muda Perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, serta MS, juga berprofesi sebagai pengacara.
Mereka diduga menerima uang suap senilai total Rp60 miliar untuk mempengaruhi putusan dalam perkara besar tersebut.
Kasus yang mereka tangani melibatkan tiga korporasi raksasa di industri sawit, Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Ketiganya sebelumnya dituntut membayar kerugian negara hingga Rp17 triliun.
Namun, dalam putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, ketiganya dibebaskan dari segala tuntutan hukum meskipun terbukti secara materiil melakukan perbuatan yang didakwakan.
Putusan tersebut mengacu pada asas ontslag van alle recht vervolging, atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Tim penyidik meyakini putusan itu tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan hasil dari praktik suap yang kini tengah diusut secara mendalam.
(Muhsin/fajar)