FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Peringatan Hari Kartini yang jatuh setiap 21 April bukan hanya momen historis untuk mengenang perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam bidang pendidikan dan kesetaraan gender.
Bagi Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI), Hari Kartini juga menjadi panggung kritik terhadap ketimpangan layanan publik, terutama akses terhadap air bersih, sanitasi, dan kebersihan (WASH) di wilayah pesisir.
Ketua Umum KPPI, Rosinah, menegaskan bahwa ketidakmerataan layanan WASH di daerah pesisir, khususnya yang menyasar perempuan, merupakan bentuk nyata ketidakadilan yang masih terjadi hingga kini.
"Tidak adanya layanan dan akses WASH untuk masyarakat pesisir, khususnya bagi perempuan pesisir, itu bagian dari ketidakadilan oleh negara," ujarnya dalam keterangan yang dikutip Senin (21/4/2025).
Rosinah menilai bahwa wilayah pesisir selama ini belum menjadi prioritas dalam agenda pembangunan nasional. Tingginya angka kemiskinan dan marginalisasi kampung nelayan, menurutnya, merupakan cerminan bahwa kebijakan pemerintah masih bias terhadap wilayah daratan.
“Perempuan dengan identitas berlapis sebagai ibu rumah tangga, pencari nafkah, dan perawat komunitas adalah kelompok yang paling rentan mengalami gangguan kesehatan akibat rendahnya akses air bersih dan sanitasi yang layak,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa perempuan pesisir memikul beban kerja ganda karena bertanggung jawab atas kebutuhan dasar keluarga, termasuk pengadaan air bersih, pemeliharaan sanitasi, hingga pengelolaan sampah rumah tangga.
Menurutnya, hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, tidak hanya dibebankan kepada perempuan.
KPPI, kata Rosinah, telah melakukan sejumlah langkah konkret untuk menyuarakan kebutuhan perempuan pesisir. Mereka aktif dalam forum-forum dialog seperti Sangkepan, kampanye publik, serta melakukan audiensi ke pemerintah desa hingga provinsi. Selain itu, KPPI juga turut serta dalam proses Musrenbang dari tingkat desa hingga kabupaten/kota.
“Intervensi ini merupakan salah satu upaya perempuan pesisir dalam pemenuhan hak dasar atas layanan air bersih dan sanitasi,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa penyediaan air bersih dan sanitasi yang layak merupakan bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan keenam. Karena itu, negara wajib memberikan perhatian khusus terhadap isu tersebut agar tercipta masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Di sisi lain, Ketua DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Lombok Timur, Sri Wahyuni, menyoroti pentingnya pemberdayaan ekonomi serta perlindungan sosial bagi perempuan pesisir sebagai wujud lanjutan dari semangat Kartini.
“Hari Kartini mendorong perempuan pesisir untuk lebih aktif dalam sektor ekonomi, seperti pengolahan ikan, kerajinan tangan, atau pariwisata. Ini sejalan dengan perjuangan Kartini untuk membuka kesempatan bagi perempuan untuk berkarya dan mandiri,” jelas Sri.
Menurutnya, akses pendidikan yang merata sangat penting agar perempuan pesisir dapat meningkatkan kualitas hidup serta berdaya saing di berbagai sektor.
“Hari Kartini menjadi momentum untuk mengapresiasi peran perempuan pesisir dalam pembangunan dan menginspirasi mereka untuk terus berjuang mencapai kemajuan dan kesejahteraan, serta menantang stereotip dan diskriminasi,” lanjutnya.
DPD KPPI Lombok Timur, tambah Sri, berharap pemerintah lebih memperhatikan peningkatan kualitas hidup perempuan pesisir, melalui penyediaan akses pendidikan, pelatihan keterampilan, dan perluasan peluang ekonomi.
“Peringatan ini juga mendorong perempuan pesisir untuk terus berjuang mencapai kesetaraan dalam segala bidang, termasuk dalam akses sumber daya, partisipasi politik, dan pengambilan keputusan,” pungkasnya.
(Wahyuni/Fajar)