Soal Bonus Demografi, Anies Baswedan: Yang Tersembunyi adalah Kelelahan Kolektif

  • Bagikan
Anies Baswedan saat memberi ceramah agama di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), pada Senin (3/3/2025) malam.

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menyampaikan pandangannya mengenai fenomena bonus demografi yang sebelumnya juga disinggung oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Dikatakan Anies, anggapan bahwa bonus demografi otomatis membawa keuntungan bagi bangsa adalah sebuah kekeliruan.

Dalam pernyataannya, Anies mengibaratkan bahwa waktu sedang memberi peluang istimewa bagi Indonesia. Negara ini sedang mengalami periode langka, bonus demografi.

"Di mana jumlah penduduk usia produktif berada di puncaknya, membuka harapan besar akan masa depan yang cerah," ujar Anies di X @aniesbaswedan (21/4/2025).

Namun, ia menekankan bahwa di balik angka-angka menggembirakan tersebut, terdapat tantangan mendasar yang jarang dibahas secara mendalam.

“Sering kita anggap bonus demografi sebagai berkah otomatis. Seolah hadirnya usia produktif berarti kesejahteraan akan datang dengan sendirinya. Tapi usia produktif tak selalu berarti produktivitas. Yang terlihat adalah angka, yang tersembunyi adalah kelelahan kolektif,” ungkap Anies.

Ia menyentil realita anak muda saat ini yang justru dihadapkan pada tekanan hidup yang begitu luas.

Selain dituntut untuk segera sukses dan mandiri secara finansial, generasi ini juga harus menghadapi ketidakpastian masa depan, termasuk kondisi dunia kerja yang menuntut namun tak menyediakan ruang bernapas.

“Mereka bukan hanya generasi yang tangguh, tapi generasi yang sibuk, dan generasi yang letih,” ucapnya.

Menurut Anies, meskipun para pemuda digadang sebagai tulang punggung pembangunan, faktanya mereka justru kekurangan dukungan yang memadai.

Di balik semangat dan potensi yang mereka miliki, banyak yang diam-diam terjebak dalam tekanan psikis, gangguan mental, dan krisis identitas.

Dunia kerja yang serba cepat menuntut hasil instan tanpa menawarkan jaminan maupun kenyamanan emosional.

“Ini bukan bonus, tapi beban,” katanya tegas.

Selain itu, ia juga menyoroti adanya kesenjangan cara pandang antar generasi. Sementara generasi muda mendambakan ruang kolaboratif dan inovasi, generasi sebelumnya masih terpaku pada pendekatan konservatif.

Ketika ide-ide segar dari anak muda tidak mendapat ruang dalam proses pengambilan keputusan, yang terjadi bukan hanya matinya gagasan, tapi juga surutnya kepercayaan terhadap institusi.

“Ketika ide-ide segar dan aspirasi terhenti di meja birokrasi, bukan hanya gagasan yang mati, tapi juga semangat untuk percaya,” ujarnya.

Fenomena urbanisasi besar-besaran juga tak luput dari sorotan. Anies mencatat bagaimana desa dan kota kecil mulai kehilangan generasi mudanya, sementara kota besar berkembang secara tidak teratur.

Tanpa perencanaan jangka panjang, urbanisasi justru memicu beban infrastruktur, kemacetan layanan publik, dan krisis ruang tinggal.

“Yang tumbuh bukan kota-kota penuh harapan melainkan wajah baru ketimpangan,” ungkapnya.

Ia juga menyinggung masalah pekerjaan informal yang kian menjamur di kalangan muda.

Walau tercatat bekerja, namun banyak dari mereka hidup tanpa kepastian dan perlindungan sosial. Mereka terlihat aktif, namun pada kenyataannya, hidup dalam kerentanan.

“Disebut aktif, tapi sejatinya rapuh,” kuncinya. (Muhsin/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan