FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia makin jor-joran menarik utang baru untuk membiayai sejumlah program strategis. Bank Dunia pun memproyeksi rasio utang Indonesia bisa tembus 40 persen pada 2025 dan akan terus meningkat setiap tahun.
Bank Dunia atau World Bank memperkirakan kenaikan rasio utang Pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB akan mencapai 40,1 persen pada 2025. Rasio utang pemerintah akan terus meningkat setiap tahun menjadi 40,8% pada 2026 dan menyentuh 41,4% pada 2027.
Proyeksi rasio utang pemerintah ini diungkap oleh Bank Dunia dalam data The Macro Poverty Outlook (MPO) edisi April 2025 yang dirilis minggu lalu. Proyek besaran utang ini sejalan angka realisasi utang pada Januari 2025.
Posisi utang Pemerintah Indonesia per Januari 2025 berdasarkan Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan 2024 sudah mencapai Rp8.909,14 triliun. Angka ini mengalami kenaikan sekitar 1,22% dari data Desember 2024 Rp 8.801,09 triliun.
Dengan total utang pemerintah yang sudah menyentuh angka Rp8.909,14 triliun, maka besaran rasio utang RI terhadap PDB sudah mencapai 39,6%. Besaran ini sedikit lebih rendah dari rasio utang terhadap PDB per Desember 2024 yang sebesar 39,7% meski nominalnya Rp 8.801,09 triliun.
Proyeksi ini juga lebih tinggi ketimbang target fiskal yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang mematok rasio utang pemerintah 39,15 persen terhadap PDB pada 2025.
Sementara dalam dokumen Laporan Kinerja DJPPR 2024, Kementerian Keuangan memastikan bahwa pemerintah akan terus mengambil kebijakan pengendalian rasio utang terhadap PDB pada level yang aman.
Ditambah dengan pengelolaan yang baik seperti mempertimbangkan kemampuan membayar kembali, keserasian antara komposisi aset dan utang valas, serta parameter risiko keuangan negara lainnya.
Adapun batas aman debt to GDP ratio yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD tidak melebihi 60% dari PDB tahun yang bersangkutan.
Defisit Fiskal Dikhawatirkan Melonjak
Penarikan utang baru diproyeksikan untuk pembiayaan sejumlah program prioritas baru pemerintah. Pengeluaran negara yang terus membengkak di tengah seretnya penerimaan negara dikhawatirkan akan mendorong defisit fiskal melonjak 2,7 persen dari PDB.
Di sisi lain, Undang-undang (UU) No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, mengamanatkan defisit anggaran harus di bawah 3 persen. Jika defisit anggaran melampaui 3 persen, pemerintah bisa disebut melanggar Undang-undang yang berisiko serius.
Nah, untuk menekan defisit anggaran, salah satu caranya dengan makin jor-joran menerbitkan surat berharga negara (SBN). Namun, batas rasio utang pemerintah juga sudah ditetapkan maksimal 60 persen terhadap PDB.
Meski rasio utang saat ini masih cukup jauh dari angka 60 persen, tetapi pemerintahan di masa mendatang akan terus menanggung beban utang serta bunganya.
Besarnya beban utang dan bunga sudah terlihat pada 2025 ini dan berdampak pada pengetatan pembiayaan program pemerintah. Utang jatuh tempo pemerintah yang harus dibayar tahun ini mencapai Rp800 triliun ditambah bunga utang sebesar Rp552 triliun.
Total utang beserta bunga yang harus dibayar tahun ini sebesar Rp1.352 triliun. Jumlah ini setara 37 persen dari total APBN 2025 yang hanya sebesar Rp3.600 triliun.
Di sisi lain, penerimaan pajak hingga Maret 2025 baru mencapai Rp322,6 triliun atau sekitar 14,7 persen dari target APBN 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun.
Jika membandingkan realisasi penerimaan pajak periode tahun sebelumnya atau Maret 2024, realisasi tahun ini anjlok 18,1 persen. Setoran pajak hingga Maret 2024 baru mencapai Rp393,91 triliun, setara 19,81 persen dari target APBN 2024 sebesar Rp1.988,88 triliun. (*)