Putusan MK Soal UU ITE, Guru Besar Unair Wanti-wanti Tak Ada Lagi Penafsiran Serampangan

  • Bagikan
Pakar Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Henri Subiakto

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar Komunikasi Univesitas Airlangga, Henry Sibiakto menyebut tak ada yang baru dalam putusan Makamahah Konstitusi (MK) soal UU ITE. Telah disampaikan sebagai keterangan ahli di sidang yudicial review 17 Desember 2024.

“Bahkan pemahaman seperti yang diputuskan dalam amar putusan Hakim MK itu tak beda dengan norma yang ada sejak UU ITE direvisi Pertama dan dilengkapi pemaknaanya menurut SKB tahun 2021 yang draft hingga materinya kami buat,” kata Henry dikutip dari unggahannya di X, Jumat (2/5/2025).

Putusan tersebut, menurutnya memang mesti seperti itu pemaknaan yang tepat atau yang seharusnya pada pasal aquo yang digugat para pemohon dan diputus MK tanggal 28 April 2025.

Problem utama yang membuat UU ITE itu menakutkan justru ada pada penegak hukum (polisi, jaksa bahkan hakim) yang sering menafsirkan secara serampangan, mengulang kekeliruan yang terus saja terjadi di ranah implementasi,” ujarnya.

“Repotnya Aktivis dan pengacara terkenalpun kadang salah mengartikan ikut2an khawatir, lalu menggugat pasal pasal tertentu agar dimaknai seperti yang sebenarnya memang begitu maknaknya menurut kami,” tambahnya.

Kekeliruan tafsir itu, kata dia, terus saja berulang hingga memunculkan korban-korban ITE yang makin banyak. Menurutnya, itu karena proses litigasi atau proses hukum UU ITE sering kali dipengaruhi faktor eksternal di luar penegak hukum.

“Ada orang orang kuat dan dana kuat yg sering berpengaruh. Ada kelompok kelompok sosial yg sensitif sering menekan aparat penegak hukum, pengaruh opini publik yg diarahkan atau dibangun lewat medsos. Dan tentu saja kurangnya pemahaman terhadap norma yg ada dalam UU ITE,” imbuhnya.

Hasilnya, walau pasal dan normanya sudah benar, tetap saja ditafsir seenaknya demi kesesuaian, dengan kepentingan dan target mereka yang terlibat kasus dan terbiasa mempermainkan keadilan dari belakang panggung Penegakkan Hukum dan Pengadilan.

“Semoga dengan Keputusan MK yg sudah kesekian kalinya pada pasal pasal tertentu UU ITE ini, mampu menyadarkan mereka yg sering memainkan hukum, untuk tidak lagi memaksakan tafsir yg tak hanya salah, tapi juga sudah jauh melenceng dari relevansi norma yg sebenarnya,” harapnya.

Kini, Guru Besar Unair ini menjelaskan tafsir yang benar sudah diperkuat dengan Putusan MK. Kalau masih dibuat nakut nakuti apalagi kriminalsasi, maka menurutnya para penegak hukum keterlaluan.

“Memang dalam menafsir teks itu berlaku istilah “the death of the author”, tapi mbok ya jangan keterlaluan. Jangan mengabaikan makna yg diungkap oleh mereka yg terlibat membuat UU,” jelasnya.

Mantan Staf Ahli Kominfo ini pun berterima kasih tergadap Hakim MK, yang dengan keputusannya telah mengembalikan makna pasal pasal tertentu UU ITE ke makna sesungguhnya, dan memperkuat pemaknaan yang benar, sesuai norma yang dimaksud oleh pembuat UU.

Dengan putusuan itu, menurutnya isi UU ITE makin tidak perlu dikhawatirkan, selama tidak dimain mainkan oleh para penegak hukum yang bermasalah, yang banyak terjadi di berbagai daerah.

“Terimakasih MK, terima kasih para korban yang diproses hukum berdasar salah tafsir dan salah penerapan. Karena masih sering salah penerapan itulah para aktivis tersebut menggugat hingga diputus dengan menguatkan pengertian yang selama ini sudah kami dengungkan dan sampaikan di berbagai persidangan dan media,” terangnya.

Pada dasarnya, IU ITE dinilainya tak bisa digunakan menjerat

“Bahwa UU ITE itu pasal pasalnya maknanya sangat sempit dan khusus, sehingga jika dimaknai secara benar tidak bisa untuk menjerat pendapat,” ucapnya.

“Sayangnya masih banyak pandangan awam, dan cara kerja para penegak hukum yang memang terbiasa melintir dan suka mengkriminalisasi pihak lawan pakai pasal pasal dg tafsir sendiri, termasuk menggunakan ITE secara serampangan. Akhirnya keputusan MK kemarin mengagetkan mereka,” tambahnya

Putusan MK itu dibacakan Selasa (29/4). Dikutip Antara, Ketua MK Suhartoyo.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ucap Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa.

Dalam putusannya MK menyatakan frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan.”

Pasal 27A UU ITE mengatur perbuatan yang dilarang dalam kegiatan terkait ITE. Pasal tersebut pada mulanya berbunyi “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik.”

Sementara itu, Pasal 45 ayat (4) UU ITE berisi tentang ketentuan pidana atas Pasal 27A. Pasal tersebut mengatur setiap orang yang melanggar Pasal 27A UU ITE dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.

Dalam pertimbangan hukum, MK menyatakan terdapat ketidakjelasan batasan frasa “orang lain” dalam Pasal 27A UU ITE sehingga norma pasal tersebut rentan untuk disalahgunakan. Padahal, Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023 yang mulai berlaku tahun 2026, juga sama-sama menggunakan frasa “orang lain” untuk merujuk pada korban pencemaran nama baik.

Merujuk pada Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023, sejatinya telah ditentukan pihak yang tidak bisa menjadi korban dari tindak pidana pencemaran nama baik, yaitu lembaga pemerintah atau sekelompok orang.

Di sisi lain, ketentuan Pasal 27A UU ITE juga berkaitan dengan Pasal 45 ayat (7) UU ITE yang menyatakan bahwa perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik tidak dapat dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.

Kepentingan umum tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam bagian penjelasan Pasal 45 ayat (7) UU ITE, adalah dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan berdemokrasi seperti unjuk rasa atau kritik.

Menurut Mahkamah, dalam negara demokrasi, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau tindakan orang lain.

Pada dasarnya, imbuh MK, Pasal 27A UU ITE merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Artinya, terhadap kritik yang konstruktif, dalam hal ini terhadap kebijakan pemerintah untuk kepentingan masyarakat, merupakan hal yang penting sebagai sarana penyeimbang atau kontrol publik yang justru harus dijamin dalam negara hukum yang demokratis.

“Terbelenggunya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, justru akan mengikis fungsi kontrol atau pengawasan yang merupakan keniscayaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power, dalam penyelenggaraan pemerintahan,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan Mahkamah.

Lebih lanjut Mahkamah menegaskan bahwa Pasal 27A dan kaitannya dengan Pasal 45 ayat (5) UU ITE merupakan tindak pidana dengan delik aduan. Hal ini berarti tindakan tersebut dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana atau yang dicemarkan nama baiknya.

“Dalam kaitan ini, menurut Mahkamah, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa ‘orang lain’ Pasal 27A UU ITE, maka penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa yang dimaksud frasa ‘orang lain’ adalah individu atau perseorangan,” ucap Arief.

Oleh karena itu, dikecualikan dari ketentuan Pasal 27A UU ITE apabila yang menjadi korban pencemaran nama baik bukan individu atau perseorangan, melainkan lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas yang spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan.
(Arya/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan