FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Islah Bahrawi, melontarkan kritik pedas terhadap situasi terkini dalam ekosistem kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) di Indonesia.
Dikatakan Islah, revolusi kendaraan listrik yang digaungkan pemerintah kini justru tersandera oleh praktik-praktik premanisme.
"Sungguh memalukan. Negara ini seolah tak punya harga diri dan tidak menarik bagi investor," kata Islah di X @islah_bahrawi (5/5/2025).
Ia menyinggung bagaimana aksi-aksi liar dan intimidatif dapat menghambat investasi strategis di sektor energi hijau.
Islah menilai bahwa praktik premanisme yang merajalela tidak hanya mencoreng citra negara, tetapi juga menjadi ancaman nyata bagi upaya transformasi teknologi dan pembangunan ekonomi nasional berbasis energi terbarukan.
"Revolusi EV di Indonesia tersandera oleh masalah gangster preman," tegasnya.
Islah bilang, pemerintah tidak boleh tinggal diam dan harus segera mengambil tindakan nyata untuk membasmi praktik-praktik liar tersebut dari akar-akarnya.
"Perlu langkah nyata dari pemerintah dan suara tegas dari presiden agar premanisme dalam segala bentuknya segera dibabat habis," serunya.
Sebelumnya, ambisi Indonesia menjadi pusat kendaraan listrik (EV) di Asia Tenggara terancam oleh bayang-bayang lama: premanisme.
Dua raksasa otomotif Asia, BYD asal Tiongkok dan VinFast dari Vietnam, dilaporkan menghadapi gangguan serius saat membangun fasilitas produksi di Tanah Air.
Mengutip laporan dari South China Morning Post (SCMP), kelompok-kelompok kejahatan terorganisir yang disebut sebagai penegak hukum misterius kini bukan hanya menjadi momok bagi pedagang kaki lima, tetapi juga bagi investor asing bernilai miliaran dolar.
Proyek besar senilai US\$1 miliar milik BYD di Subang, Jawa Barat, yang semula digadang sebagai landasan masa depan ekonomi nasional, dilaporkan terganggu oleh ulah para preman.
"Ada masalah terkait premanisme yang mengganggu pembangunan fasilitas BYD di Indonesia. Saya kira pemerintah harus tegas dalam menangani masalah ini," kata Soeparno, tokoh industri otomotif nasional, sebagaimana dikutip SCMP.
Gangguan yang sama juga dialami VinFast. Produsen asal Vietnam yang menanamkan investasi sebesar US\$200 juta di kawasan industri yang sama turut menghadapi tekanan dari kelompok serupa.
Lebih dari sekadar gangguan fisik, kehadiran para preman ini mencerminkan warisan kelam sejak era kolonial.
Saat itu, penegak hukum lokal digunakan untuk melayani kepentingan penjajah. Kini, mereka disebut telah bertransformasi menjadi jaringan kekuasaan yang berkelindan dengan elit politik dan aparat hukum.
Soeparno menyebutkan bahwa praktik premanisme ini menjadi ancaman nyata bagi iklim investasi dan cita-cita pertumbuhan ekonomi nasional.
"Indonesia akan mengirimkan sinyal kuat kepada dunia usaha bahwa pemerintah tidak menoleransi tindakan koboi para preman," tegasnya.
Jika tidak segera ditindak, premanisme ini dapat menjadi penghalang serius terhadap target ambisius pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan pemerintah.
(Muhsin/fajar)