Opini oleh: Amul Hikmah Budiman, S.S., M.Si (Direktur Eksekutif Saoraja Institute Indonesia)
Belakangan ini, ada beberapa poin yang menjadi tren atau perbincangan Gen Millenial, Gen Z, dan Gen Alpha di sosial media dan di meja-meja café atau warung kopi. Dua yang mungkin saja menjadi klasemen teratas. Pertama, perihal gerakan-gerakan menyerupai tarian singkat yang populer di aplikasi tiktok, kemudian ramai disebut dengan velocity. Kedua, “badai” gelombang Pemtusan Hubungan Kerja (PHK) di beberapa perusahaan raksasa serta keresehan mendapatkan lapangan kerja yang semakin menyuburkan pengangguran terbuka.
Di awal tahun 2025, periode Januari-Februari Kementerian Ketengakerjaan Republik Indonesia (Kemenaker RI) merilis bahwa terdapat 18.610 pekerja mengalami PHK. Sedangkan data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat sekitar 60.000 pekerja PHK pada periode yang sama. Terdapat perbedaan yang signifikan, namun keduanya tetap mengkhawatirkan. Beberapa pakar menyebut bahwa hal ini sebagian dampak dari dinamika geopolitik dan ekonomi internasional serta menurunnya daya beli masyrakat yang linear dengan penurunan permintaan produk.
Meskipun belum ada secara spesifik yang menyebut klaster usia yang mengalami PHK, namun perlu dicatat dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa kelompok usia muda (16–24 tahun) memiliki Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tertinggi di Indonesia disusul berusia 25-35 tahun. Pada Desember 2024, TPT untuk kelompok usia ini mencapai 17,32%, yang menunjukkan kerentanan mereka terhadap kehilangan pekerjaan. Parahnya lagi, anak muda yang menyandang tuna karya ini berasal dari orang yang terdidik. Secara jenjang pendidikan, tertinggi adalah tamatan SMA/SMK sebesar 14,76% lalu tamatan S1/S2 sebesar 5,89%. Sebuah ironi yang harus menjadi evaluasi bagi penyelenggara negara agar menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan kebutuhan hardskill dan softskill yang dibutuhkan oleh para pencipta kerja dan membuka ruang kerja baru.
Hal ini juga diperkuat dengan fenomena meningkatnya jumlah pekerja Generasi Z yang dipecat dari perusahaan menjadi sorotan dalam beberapa bulan terakhir. Berbagai survei dan laporan menunjukkan bahwa meskipun Gen Z dikenal sebagai generasi yang inovatif dan adaptif terhadap teknologi, mereka menghadapi tantangan dalam menyesuaikan diri dengan budaya dan tuntutan dunia kerja konvensional. Hasil survey menyebut tiga teratas yang menjadi faktor gen-Z dipecat dari laporan berbagai perusahaan, mereka dianggap kurang motivasi dan inisiatif, kurang professional,dan kurang kemampuan organisasi. Tentu, hal ini mejadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemangku kebijakan publik yang mengurusi kepemudaan, agar mampu menghadirkan regulasi serta terobosan yang mampu menguatkan kapasitas, intelektualitas, dan moralitas gen-z dalam menghadapi dunia kerja.
PHK dan Pengangguran terbuka ini tentu menjadi ancaman nyata di depan mata bagi negara. Apalagi mayoritas yang menghuni republik ini diisi oleh mereka yang menjadi gen millennial, Z, dan Alpha. Makin menjamurnya PHK akan menambah kompetisi para pencari kerja. Pengangguran ini tidak berdiri sendiri, tentunya akan melahirkan kemiskinan baru, lalu cenderung akan memproduksi tindakan kriminalitas. Sebagaiman kutipan Victor Hugo dalam Les Miserables (1862) yang menyebut "Where poverty is extreme, crimes abound. Misery is a factory of crime.” (Di mana kemiskinan sangat parah, kejahatan berlimpah. Kemiskinan adalah pabrik kejahatan). Tentu kita tidak ingin anxiety ini menjadi kronis bagi generasi muda kita, memaksakan diri “tercebur” dalam kriminalitas untuk kebutuhan dan keinginan hidup yang semakin tak terbendung. Belakangan terakhir, kita selalu digemparkan dengan pemberitaan anak muda yang frustasi dan berujung bunuh diri. Pula kasus “begal” yang pelakunya mayoritas berusia muda. Setidaknya, beberapa realitas sosial ini menguatkan bahwa adanya kesinambungan antara meningkatnya data kemiskinan, pengangguran, dan pemutusan kerja yang menimbulkan anxiety yang akut serta perilaku kriminal.
Inpres perihal efisiensi anggaran yang diteken oleh Presiden Prabowo sudah sepatutnya harus lebih berorientasi pada perihal pembangunan sumber daya manusia; menyiapkan fasilitas pelatihan kerja seluas-luasnya, creative hub, penambahan modal berwirausaha (pemula dan berkembang), memperluas usia kesempatan kerja, serta kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan untuk menyusun indikator kebutuhan SDM yang dicari serta benar-benar menerapkan merrit system secara professional melalui job fair yang terintegrasi dengan dunia digital.
Meskipun generasi kita dibayang-bayangi dengan social anxiety, merekamasih bisa tersenyum dan kompak melakukan gerakan velocity yang diunggah di sosial media. Tren velocity bertumbuh dengan cepat dalam menciptakan gaya-gaya baru. Walaupun ini menjadi Fomo, setidaknya gen muda ini masih mampu menekan potensi stress yang akan timbul dari social anxiety tersebut. Editing velocity mendorong eksplorasi visual dan storytelling dinamis. Banyak gen muda jadi lebih kreatif dalam menyampaikan ide secara visual. Sebab Tren velocity tidak hanya menarik secara visual tetapi juga memengaruhi psikologi pengguna. Efek visual yang memikat dan kemampuan untuk mengekspresikan kreativitas membuat banyak gen muda merasa terdorong untuk ikut serta dalam tren ini. Selain itu, partisipasi dalam tren populer memberikan rasa keterlibatan sosial dan pengakuan dari komunitas.
Pemerintah Pusat dan Daerah juga sudah sepatutnya belajar melahirkanprogram yang bersifat “velocity”. Disenangi semua kalangan dan usia, inklusif hingga ke pedesaan, membuat perasaan gembira, dan melahirkan kekompakan. Sinergitas pusat dan daerah dalam menghadapi situasi krisis ini, sudah sepatutnya berjalan layaknya tren“velocity”—cepat, mudah dipahami, dan menurunkan anxiety.
Sembari Velocity masih menjadi perbincangan gen muda dan Kemenkeu kabarnya Mei ini telah membuka blokir anggaran untuk Kementerian & Lembaga, sudah sepatutnya efisiensi anggaran bermuara pada penguatan upaya preventif, suistinable, dan inklusif dalam penguatan generasi muda yang berdaya saing dalam ruang kerja serta memperluas akses untuk modal kerja dalam berwirausaha.