Oleh : Muliadi Saleh, Pemerhati dan Pencinta Masjid, Penggagas Gerakan CMCA - Cita Masjid Cinta Alquran
Di padang yang tandus, tempat langit mencium bumi dengan kepasrahan, Ibrahim berdiri. Ia tak membawa apa-apa kecuali cinta dan kepatuhan. Di sisinya, Ismail, anaknya yang lahir dari doa yang panjang, yang kini harus menjadi persembahan. Di sana, bukan darah yang diminta, tetapi jiwa yang rela tunduk total. Itulah qurban dalam makna terdalam. Bukan sekadar menyembelih, tapi melepas segala keterikatan, kecuali kepada-Nya.
Para sufi memandang qurban bukan ritual berdarah, melainkan pelatihan ruhani, latihan membunuh ego (nafs), menyayat kesombongan, menyembelih keakuan. “Siapa yang belum menyembelih nafsunya, belumlah ia berqurban,” ujar Jalaluddin Rumi. Qurban bukan hanya tentang kambing atau sapi, tapi tentang menyerahkan hal-hal duniawi yang paling kita cintai, kepada Yang Maha Cinta. Itulah maqam tauhid: tiada yang patut dicintai, kecuali Allah.
Qurban sebagai Jalan Pembebasan
Ali Shariati, pemikir revolusioner dari Iran, membaca qurban dengan kaca mata sejarah dan sosial. Menurutnya, qurban bukan hanya perintah, tapi pesan perlawanan terhadap penindasan. Ibrahim bukan sekadar nabi, tapi simbol perlawanan terhadap tirani Namrud. Ismail bukan hanya anak, tapi cerminan pengorbanan generasi muda untuk visi tauhid dan keadilan. Qurban adalah bahasa simbolik, bahwa setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Tanpa qurban, takkan ada pembebasan.
Bagi Shariati, ritual Islam harus dibaca sebagai sistem nilai, bukan sekadar formalitas. Ia menolak ibadah yang kosong dari kesadaran sosial. Qurban yang sejati adalah ketika kita menyerahkan egoisme, harta, dan kemapanan kita untuk membela yang lemah, mengangkat yang tertindas. Maka, qurban adalah kritik terhadap kehidupan yang hedonis, dan seruan menuju solidaritas sosial.
Haji: Ziarah Ruhani Menuju Diri
Jika qurban adalah pemotongan ego, maka haji adalah perjalanan menuju keabadian. Haji bukan sekadar wisata rohani, tetapi teater tauhid. Dari mengenakan ihram yang seragam, berjalan ke Ka’bah, berlari di antara Shafa dan Marwah, hingga melempar jumrah – semuanya adalah simbolisasi penyucian diri.
Para sufi menyebut haji sebagai suluk kabir – perjalanan besar. Bukan hanya ke Mekkah, tapi ke pusat ruhani manusia: keikhlasan, tawadhu, dan kehambaan. Di Mina, kita tinggalkan nafs. Di Arafah, kita menelanjangi hati di hadapan Sang Hakim. Di Muzdalifah, kita kumpulkan bekal amal. Dan di Ka’bah, kita berputar, mengelilingi cinta yang abadi.
Shariati menggambarkan haji sebagai revolusi spiritual. Ia menulis dalam Hajj: Reflections on Its Rituals, bahwa haji adalah "pembebasan manusia dari segala bentuk berhala, termasuk dirinya sendiri." Ia melihat haji sebagai penolakan terhadap materialisme, rasisme, dan sekularisme. Dengan mengenakan ihram, manusia melepaskan kasta sosial dan ego-identitas. Semua sama. Semua hamba.
Menjadikan Qurban dan Haji Sebagai Pedoman Hidup
Dalam era kapitalisme spiritual, di mana ibadah kadang hanya menjadi simbol status dan prestise sosial, umat Islam perlu kembali pada ruh ibadah. Qurban bukanlah soal harga hewan, tapi harga keikhlasan. Haji bukan soal paket VIP, tapi kesediaan menanggalkan ego dan dunia.
Menjadikan nilai-nilai Qur'an dan ibadah sebagai pedoman hidup berarti menanamkan tauhid dalam semua aspek: ekonomi yang adil, politik yang jujur, sosial yang peduli. Qurban dan haji mengajarkan pengorbanan, kesetaraan, solidaritas, dan kebebasan dari hawa nafsu. Semua itu adalah prinsip hidup Islami yang hakiki.
Sikap seorang muslim seharusnya bukan hanya menunaikan qurban dan haji secara ritual, tetapi menjadikannya sebagai jalan transformasi diri dan masyarakat. Seorang muslim sejati adalah mereka yang menjadikan Ibrahim sebagai teladan keberanian spiritual, dan Muhammad sebagai simbol kasih sayang universal. Bukan hanya berislam secara simbolik, tapi substansial.
Menjadi Ibrahim di Zaman Ini
Kita hidup di zaman yang memerlukan banyak Ibrahim: yang siap berkorban demi kebenaran. Kita juga butuh banyak Ismail: generasi muda yang rela menyerahkan kenyamanannya untuk masa depan ummat. Dan kita butuh haji setiap hari: perjalanan menundukkan ego, menunaikan cinta, dan bersatu dalam tauhid.
Qurban dan haji bukan ritual tahunan, tapi sikap harian. Ia adalah narasi besar Islam tentang cinta, perjuangan, dan pembebasan. Dan jika kita benar-benar memahami maknanya, kita tak hanya menyembelih hewan, tapi menyembelih kezaliman yang ada dalam diri dan masyarakat. Kita tak hanya berjalan ke Ka’bah, tapi menuju Tuhan yang lebih dekat dari urat leher kita.
Wallahu A'lamu Bissawaab.
-Moel'S@07052025-