FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis data mencengangkan terkait praktik korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dalam periode 2016 hingga 2023, tercatat sedikitnya 212 kasus korupsi terjadi di lingkungan BUMN, dengan total kerugian negara mencapai sekitar Rp64 triliun.
Dari kasus-kasus tersebut, ICW mencatat sebanyak 349 pejabat BUMN telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka terdiri atas 84 orang dari jajaran direksi, 124 pejabat tingkat menengah, serta 129 pegawai lainnya.
“Terdapat 349 pejabat BUMN yang pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi,” ungkap ICW dalam laporan resminya dikutip Senin (12/5/2025).
ICW menyebutkan, sebagian besar kasus tersebut berhasil diungkap melalui penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Namun, lembaga antikorupsi itu juga mengungkap kekhawatiran akan lemahnya penegakan hukum pasca-berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN, yang mulai efektif pada 24 Februari 2025.
ICW menyoroti perubahan penting dalam regulasi BUMN, khususnya pasal-pasal yang menyebutkan bahwa kerugian keuangan BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai kerugian negara. Akibatnya, proses pembuktian unsur pidana korupsi berdasarkan UU Tipikor menjadi lebih rumit secara hukum.
“Apabila tidak disusul dengan pembentukan paket regulasi yang secara progresif dapat membendung keberadaan korupsi di sektor swasta seperti di atas, memberantas korupsi di tubuh BUMN hanya akan menjadi angan-angan semata,” tulis ICW.
ICW menilai bahwa logika baru yang menempatkan BUMN sebagai entitas bisnis murni membuat penanganan kasus korupsi di sektor ini semakin sulit, terutama jika tidak dibarengi dengan kebijakan yang memperkuat pengawasan dan penegakan hukum.
Dalam keterangannya, ICW juga menyoroti bahwa kerentanan korupsi di BUMN tak hanya dipengaruhi oleh perubahan aturan, tetapi juga oleh lemahnya sistem pencegahan di sektor korporasi.
Praktik-praktik seperti suap lintas negara, pengayaan ilegal, dan perdagangan pengaruh masih belum terjamah secara menyeluruh oleh aparat penegak hukum.
Lebih lanjut, UU Nomor 1 Tahun 2025 juga menyatakan bahwa pegawai dan pengurus BUMN bukan merupakan penyelenggara negara. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 3X Ayat (1) dan Pasal 9G, yang menegaskan bahwa jajaran direksi, dewan komisaris, maupun dewan pengawas BUMN tidak termasuk dalam kategori tersebut.
Akibatnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpotensi kehilangan kewenangan untuk menangani dugaan korupsi yang melibatkan pejabat BUMN, menambah kekhawatiran akan semakin sulitnya memberantas korupsi di sektor strategis milik negara tersebut. (Wahyuni/Fajar)