FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menyampaikan pandangan tajam mengenai arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan pelajaran penting bagi Indonesia.
Ia menegaskan bahwa AS secara historis bukanlah negara penganut sistem perdagangan bebas (free trade), melainkan menganut sistem ekonomi protektif atau merkantilisme.
Anthony menyinggung keputusan Presiden AS Donald Trump yang pada 2 April 2025 resmi memberlakukan tarif impor resiprokal terhadap hampir semua mitra dagangnya, termasuk sekutu seperti Uni Eropa, Inggris, Kanada, Jepang, dan lainnya.
Indonesia sendiri dikenai tarif sebesar 42 persen, terdiri dari 32 persen tarif resiprokal dan 10 persen tarif dasar.
"China dikenakan tarif 54 persen, Vietnam 46 persen, dan negara lain seperti India, Pakistan, Thailand, serta Malaysia juga tidak luput dari kebijakan ini," ujar Anthony kepada fajar.co.id, Kamis (14/5/2025).
Kebijakan tersebut mengundang keterkejutan global. Banyak pihak menyebut Trump tidak rasional karena bertindak bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas yang selama ini diklaim sebagai identitas ekonomi Amerika.
Namun, menurut Anthony, hal tersebut sebenarnya mencerminkan DNA ekonomi AS yang sesungguhnya.
“Amerika Serikat memang tidak pernah memiliki DNA sebagai negara penganut pasar bebas,” tegasnya.
Ia menambahkan, sejak kemerdekaan, AS telah menerapkan kebijakan protektif untuk memperkuat industrinya, sebagaimana dicontohkan oleh Menteri Keuangan pertama AS, Alexander Hamilton, dalam Report on Manufactures yang diajukan ke Kongres tahun 1791.
Dokumen itu menjadi pondasi The American System yang kemudian populer.
Anthony menguraikan bahwa kebijakan proteksi dan subsidi dijalankan oleh AS secara konsisten selama hampir 150 tahun, terutama untuk melindungi industri dalam negeri, termasuk industri yang masih berkembang (infant industry).
Kebijakan ini bertahan dari era Hamilton hingga awal abad ke-20, dan tarif impor AS bahkan pernah mencapai lebih dari 60 persen.
Ia juga menyinggung krisis dalam negeri akibat kebijakan tersebut, seperti nullification crisis pada era Presiden Andrew Jackson, yang sempat memicu ancaman disintegrasi dari negara bagian Carolina Selatan.
Namun Jackson bersikukuh, bahkan mengirim tentara untuk mempertahankan keputusan menaikkan tarif demi industri nasional.
Anthony menyebut kebijakan protektif turut menyumbang kemajuan ekonomi dan industri AS yang akhirnya mengungguli Inggris, sebagaimana dibuktikan dalam Perang Dunia I dan II.
Bahkan, The London Daily Mail pada 1900 menyebut Inggris telah kalah bersaing dalam berbagai sektor industri terhadap manufaktur AS.
Presiden Theodore Roosevelt pun pada 1902 menegaskan bahwa sistem proteksi telah membawa kemakmuran bagi rakyat AS dan tidak seharusnya digantikan atau diubah secara radikal.
Setelah Perang Dunia II, demi mendukung pemulihan ekonomi global, AS menurunkan tarif impornya secara sukarela.
Namun kebijakan ini berbalik arah ketika Trump naik kembali sebagai presiden. Ia menilai defisit perdagangan AS yang berlangsung sejak 1970 tidak lagi bisa ditoleransi, dan memutuskan mengembalikan sistem proteksi lewat kebijakan tarif tinggi.
“Kalau melihat sejarah tarif AS, tarif resiprokal Trump termasuk biasa-biasa saja, dibandingkan tarif era Andrew Jackson atau William McKinley,” Anthony menuturkan.
Ia menegaskan bahwa AS sejatinya adalah negara proteksionis secara natural. Pemimpin dari Partai Republik, termasuk Trump, menunjukkan sikap militan dalam melindungi kepentingan ekonomi nasionalnya.
"Kalau ada yang mengira Trump hanya menggertak saja, harus pikir dua kali," tegasnya.
Ia menyarankan Indonesia dan negara lain untuk belajar dari sejarah AS agar memperoleh posisi tawar yang kuat dalam negosiasi perdagangan.
(Muhsin/fajar)