FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Selain membahas ijazah, Ketua Kagama Cirebon Raya, Heru Subagia, menyebut pihaknya juga membicarakan sejumlah isu strategis bernama Presiden ke-7, Indonesia, Jokowi.
Heru menekankan pentingnya regulasi dan kontrol terhadap ekosistem ekonomi desa yang dinilai cenderung bersifat monopolistik.
"Kagama Cirebon memberikan solusi konstruktif berkaitan dengan legalitas koperasi desa yang notabene monopoli usaha yang menyangkut produk yang menjadi kebutuhan dasar,” ujar Heru kepada fajar.co.id, Kamis (15/5/2025).
Ia menegaskan perlunya mitigasi dan pengawasan terhadap pelaku UMKM yang telah membangun sistem usahanya secara mandiri.
Dikatakan Heru, koperasi desa harus mampu menyesuaikan diri dengan era digital agar lebih terbuka dan inklusif.
“Kagama menyarankan dua hal prinsip, yakni bagaimana koperasi desa harus membangun sistem integrasi digitalisasi. Semua laporan penjualan, SDM, manajemen stok, ada di dalam integrasi sistem,” tukasnya.
Lebih lanjut, Heru juga menekankan pentingnya revisi regulasi untuk menghindari dampak negatif dari dominasi koperasi desa atas pasar lokal.
“Kagama Cirebon menyarankan regulasi ulang berkaitan dengan monopoli dan penetrasi pasar. Ini perlu dicerna agar pelaku UMKM tidak terlindas ekosistem koperasi desa yang sangat monopolistik,” ungkapnya.
Selain soal ekonomi, Heru juga membawa isu kebudayaan dalam forum tersebut.
Ia menyampaikan perhatian Kagama terhadap pelestarian situs bersejarah dan ikon budaya lokal yang berpotensi menjadi monumen nasional.
“Ada revitalisasi makam seorang pahlawan dari sayap perempuan Pangeran Diponegoro, Mahgondowati, pejuang perempuan yang saat ini belum direvitalisasi,” Heru menuturkan.
Tambah Heru, usulan revitalisasi makam Mahgondowati yang berada di kawasan Borobudur, Jawa Tengah, telah disampaikan kepada Presiden Jokowi dan mendapatkan respons positif.
"Kondisi itu sudah dilaporkan ke Pak Jokowi dan positif untuk direvitalisasi. Agar situs seperti ini penting dijadikan ikon budaya lokal. Jadi monumental Nusantara,” ucapnya.
Di sisi lain, Heru turut menyinggung persoalan yang melanda budaya Cirebon, khususnya menyangkut keberadaan Kesultanan yang kini dinilai semakin kabur akibat konflik internal.
“Ada konflik yang membuat peta kesultanan di Cirebon semakin tidak terukur dan liar,” kuncinya.
(Muhsin/fajar)