FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang tengah dibahas di DPR RI dinilai menghadirkan pendekatan baru dalam memperkuat strategi pemberantasan kejahatan ekonomi.
Salah satu poin utama dalam rancangan tersebut adalah penerapan konsep nonconviction based asset forfeiture (NCB), yang memungkinkan negara untuk melakukan perampasan aset tanpa harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mengemukakan bahwa konsep tersebut akan mempercepat proses pemulihan aset negara sekaligus meminimalkan risiko penghilangan atau pengalihan aset oleh pelaku kejahatan.
"Berbagai negara telah lebih dahulu mengadopsi mekanisme NCB dengan hasil yang signifikan," ujar Bambang Soesatyo dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (17/5/2025).
Menurut dia, salah satu hambatan utama pemulihan aset adalah ketergantungan terhadap mekanisme conviction based forfeiture, yakni proses yang hanya memungkinkan perampasan setelah vonis pengadilan berkekuatan hukum tetap. Kondisi ini membuat proses menjadi panjang, terutama bila pelaku melarikan diri atau menyembunyikan aset di luar negeri.
Bambang mencontohkan beberapa negara yang telah lebih dahulu menerapkan pendekatan NCB. Amerika Serikat, misalnya, memiliki Civil Asset Forfeiture Reform Act (CAFRA) 2000, yang memungkinkan aset dirampas dalam perkara perdata apabila terbukti terkait tindak pidana.
Hal serupa juga diterapkan di Swiss dan Singapura, yang memberi kewenangan kepada otoritas untuk menyita aset meskipun belum ada putusan pengadilan. Australia pun menerapkan pendekatan sejenis melalui Proceeds of Crime Act 2002, yang memungkinkan pengadilan memutuskan perampasan berdasarkan keseimbangan probabilitas bukti.
Lebih lanjut, Bamsoet menilai bahwa perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) merupakan aspek penting dalam memperkuat sistem hukum dan keuangan negara. Namun, ia mengakui bahwa sistem hukum yang ada masih memiliki keterbatasan.
"Meski Indonesia telah memiliki payung hukum seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, efektivitasnya dalam menjamin pemulihan aset secara optimal masih dipertanyakan," ujarnya.
Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa total kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2020–2024 mencapai Rp45,7 triliun. Namun, pemulihan aset melalui mekanisme yang ada baru menyentuh angka sekitar Rp2,5 triliun.
Menurut Bamsoet, ketergantungan terhadap putusan pidana, keterbatasan teknologi pelacakan aset, dan tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum menjadi tantangan utama dalam proses pemulihan aset lintas yurisdiksi.
Ia juga mengingatkan bahwa implementasi RUU Perampasan Aset kemungkinan akan menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi politik, kapasitas kelembagaan, maupun aspek konstitusional.
"Meski menjanjikan, implementasi RUU Perampasan Aset di Indonesia diperkirakan akan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari resistensi politik, keterbatasan kapasitas kelembagaan, hingga isu konstitusionalitas terkait asas praduga tak bersalah dan perlindungan hak milik," kata Bamsoet.
Meski demikian, ia menegaskan pentingnya komitmen dan keseriusan seluruh pemangku kepentingan agar RUU tersebut dapat memperkuat sistem pemulihan aset dan memberikan dampak signifikan terhadap pemberantasan kejahatan ekonomi di Tanah Air. (*/ant)