Penjelasan Kejagung Terkait Dua Stafsus Nadiem yang Diperiksa

  • Bagikan
Kejaksaan Agung (Kejagung)

FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) terus memperluas penyidikan kasus dugaan korupsi dalam Program Digitalisasi Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) periode 2019–2022.

Kali ini, dua Staf Khusus (Stafsus) eks Menteri Nadiem Makarim turut diperiksa penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.

Dua nama yang dipanggil untuk dimintai keterangan adalah Fiona Handayani dan Juris Stan. Pemeriksaan terhadap keduanya dilakukan karena diduga mengetahui, bahkan berperan, dalam proses pengadaan laptop Chromebook yang menjadi sorotan utama dalam proyek ini.

“Tentu sebagai Stafsus maka dari informasi yang diperoleh penyidik dari dokumen bahwa yang bersangkutan memiliki peran juga dalam dugaan perkara ini,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, kepada awak media, dikutip Kamis (29/5/2025).

Ia menambahkan bahwa pemeriksaan dilakukan secepatnya demi menggali informasi yang lebih mendalam terkait mekanisme dan keputusan dalam pengadaan perangkat teknologi pendidikan tersebut.

“Penyidik merasa perlu dilakukan pemeriksaan secara cepat. Untuk apa, untuk menggali lebih banyak lagi informasi terkait dengan pengadaan Chromebook ini,” lanjutnya.

Selain dua staf khusus tersebut, Harli mengungkapkan bahwa tim penyidik juga telah memeriksa total 26 saksi lainnya yang dianggap relevan dengan perkara ini. Meskipun begitu, status Fiona dan Juris hingga saat ini masih sebagai saksi.

“Tentu terkait dengan hasilnya karena ini menyangkut masalah substansi pendidikan nanti kita lihat bagaimana perkembangannya,” ucap Harli.

Sebelumnya, Kejagung telah mengumumkan penyelidikan terhadap dugaan korupsi proyek pengadaan Chromebook yang merupakan bagian dari program digitalisasi pendidikan. Nilai proyek ini mencapai Rp 9,9 triliun, dan sebagian besar bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) yang disalurkan ke daerah.

Harli menyebut, penyidik menemukan adanya indikasi rekayasa pengadaan, di mana tim teknis diduga diarahkan untuk membuat kajian yang seolah-olah menunjukkan kebutuhan terhadap laptop Chromebook.

Padahal, berdasarkan uji coba pada tahun 2019 terhadap 1.000 unit Chromebook, perangkat tersebut dinilai tidak efektif untuk mendukung kegiatan pembelajaran, terutama di daerah dengan infrastruktur internet yang belum memadai. (Wahyuni/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan