FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).
Keberhasilan meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) berkat Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2024.
Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dilakukan di ruang paripurna DPRD Sulsel, Rabu (28/5), oleh Direktur Jenderal Pemeriksaan Keuangan Negara III (Dirjen PKN III) BPK RI, Dede Sukarjo.
Meski berhasil meraih catatan ini, Direktur Jenderal Pemeriksaan Keuangan Negara III (Dirjen PKN III) BPK RI, Dede Sukarjo memberi beberapa catatan penting untuk Pemprov Sulsel.
Dede dengan tegas menyebut pengelolaan keuangan daerah sudah sepenuhnya tanpa cela.
Ia menyampaikan sejumlah catatan penting yang harus segera menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi.
“Capaian ini kami apresiasi sebagai bentuk konsistensi dan komitmen pemerintah daerah menjaga akuntabilitas. Tapi WTP bukanlah akhir. Masih ada banyak pekerjaan rumah,” ujar Dede dikutip jumat (30/5/2025)
Yang paling disorot oleh BPK pertama terkait utang belanja dan transfer yang belum diselesaikan oleh Pemprov Sulsel, terutama utang bagi hasil pajak daerah kepada pemerintah kabupaten/kota.
Dana ini merupakan hak kabupaten/kota yang diperoleh dari pendapatan pajak daerah yang dikelola provinsi.
“Utang bagi hasil pajak masih belum tuntas. Ini menyebabkan kabupaten/kota tidak dapat segera melaksanakan program pembangunan yang sudah direncanakan,” jelasnya.
Kemudian ada perbandingan antara kas yang tersedia dan jumlah utang belanja menunjukkan masih lemahnya ruang fiskal Pemprov dalam mengelola APBD secara ideal.
“Ini harus menjadi fokus utama perbaikan. Pengelolaan keuangan yang sehat bukan hanya soal pelaporan, tapi juga soal kemampuan membayar tepat waktu,” sebutnya.
Yang ketiga BPK RI juga menemukan sejumlah masalah teknis dan sistemik lain dalam pengelolaan anggaran dan belanja daerah.
“Kami temukan aplikasi yang belum digunakan maksimal karena spesifikasinya tak sesuai sejak awal pengadaan. Ini bentuk inefisiensi,” tuturnya.
Dan yang keempat mengangkat persoalan bantuan iuran BPJS Kesehatan bagi masyarakat miskin yang belum tersalurkan.
Penundaan ini disebabkan proses verifikasi dan validasi peserta yang belum tuntas di tingkat kabupaten/kota.
“Padahal ini menyangkut layanan dasar masyarakat. Jangan sampai masyarakat jadi korban karena lambatnya pendataan,” terangnya. (Erfyansyah/Fajar)