FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menyatakan dukungannya terhadap gagasan Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait penulisan ulang sejarah Indonesia dengan menggunakan narasi atau tone yang lebih positif, termasuk dalam konteks pelanggaran HAM berat.
Dalam keterangannya di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Pigai menjelaskan bahwa penulisan ulang sejarah dengan pendekatan positif bukan berarti menutupi fakta atau menulis sejarah berdasarkan kepentingan tertentu. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa sejarah harus ditulis apa adanya.
“Itu artinya tidak bermaksud mempositifkan semua peristiwa. Semua peristiwa itu ‘kan up and down: ada titik tertentu baik, titik tertentu jelek, tapi ketika kita menulis fakta peristiwa apa adanya, itu yang namanya tone positif,” ujar Pigai kepada wartawan dalam keterangannya di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, dikutip Rabu (4/6/2025).
Ia juga menyoroti bahwa sejarah Indonesia masih kerap menjadi perdebatan, baik di kalangan akademisi maupun masyarakat umum. Karena itu, menurutnya, sudah waktunya pemerintah menyusun ulang narasi sejarah secara objektif dan faktual.
“Yang dimaksud tone positif adalah data, fakta, informasi atas perjalanan sejarah bangsa diungkap apa adanya. Tapi ‘kan teman-teman wartawan atau masyarakat memaknai tone positif itu sesuai dengan keinginan pemerintah. Emang pemerintah keinginannya apa? ‘Kan enggak juga,” tambahnya.
Pigai memastikan bahwa Kementerian HAM akan terlibat aktif dalam proses penulisan ulang sejarah tersebut, khususnya untuk memastikan aspek keadilan ditegakkan dalam narasi sejarah yang akan dibangun.
“Kalau kami lebih kepada mengontrol kebenaran peristiwa. Itu soal justice (keadilan). Ketika ada peristiwa tertentu yang ditutupi itu injustice (ketidakadilan). Peristiwa itu diungkap secara fakta, apa adanya, itu justice,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan bahwa pemerintah berencana memperbarui buku sejarah Indonesia dengan narasi yang lebih positif. Hal itu disampaikan dalam pernyataannya di Cibubur, Jawa Barat, Minggu (1/6).
“Tone kita adalah tone yang lebih positif karena kalau mau mencari-cari kesalahan, mudah; pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa,” ujar Fadli.
Ia menjelaskan bahwa pembaruan sejarah ini akan menggunakan perspektif Indonesia sentris, sebagai upaya menghapus warisan narasi kolonial, membangun persatuan nasional, dan membuat sejarah lebih relevan bagi generasi muda.
“Kalau mau mencari-cari kesalahan atau mencari-cari hal yang negatif, ya, saya kira itu selalu ada. Jadi, yang kita inginkan tone-nya dari sejarah kita itu adalah tone yang positif, dari era Bung Karno sampai era Presiden Jokowi dan seterusnya,” imbuhnya.
Fadli juga menegaskan bahwa publik tidak perlu khawatir karena proyek ini digarap secara serius dan melibatkan tim ahli yang terdiri dari 113 penulis, 20 editor jilid, serta tiga editor umum, termasuk para sejarawan profesional. (Wahyuni/Fajar)