Menjemput Harapan Baru: Kembalinya Ilham Arief Sirajuddin Sebagai Nahkoda Golkar Sulsel

  • Bagikan

Oleh: Pahmuddin Colik, Pemerhati Politik

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Di tengah dinamika politik yang terus bergerak cepat, masyarakat dan kader Partai Golkar di Sulawesi Selatan kembali melayangkan pandang ke satu sosok yang telah lama mereka kenal: Ilham Arief Sirajuddin, atau yang lebih akrab disapa Kak IAS. Nama ini bukan sekadar simbol masa lalu, tetapi representasi dari kepemimpinan yang matang, karismatik, dan konsisten membangun dari akar.

Dalam belantara politik yang penuh hiruk-pikuk, Kak IAS tampil sebagai figur yang tidak hanya memahami bagaimana mengelola kekuasaan, tetapi juga merawat kepercayaan dan menjaga arah gerak perjuangan partai.

Sejarah dan Dinamika Golkar di Sulawesi Selatan
Partai Golkar di Sulawesi Selatan memiliki akar sejarah yang panjang dan kuat. Sejak masa Orde Baru, partai ini telah menjadi kekuatan politik dominan di daerah ini. Golkar bukan sekadar partai politik; ia telah menjadi bagian dari denyut kehidupan politik masyarakat Sulsel. Nama-nama besar seperti Andi Mattalatta, Amin Syam, HM Jusuf Kalla, hingga Andi Ghalib, adalah tokoh-tokoh yang pernah menjadi tumpuan harapan masyarakat dan menjadi wajah Golkar yang berwibawa dan kokoh.

Pada era 1999 hingga 2009, Golkar Sulsel menunjukkan dominasinya secara nyata. Partai ini tidak hanya unggul dalam pemilu legislatif, tetapi juga memenangkan berbagai kontestasi pilkada di kabupaten dan kota. Kala itu, dukungan dari kelompok birokrat, tokoh adat, komunitas keagamaan, dan pengusaha menjadi kekuatan utama yang menopang kejayaan partai berlambang pohon beringin ini.

Kepercayaan publik begitu tinggi karena Golkar mampu menjaga konsistensi dan menghadirkan figur-figur pemimpin yang visioner dan bersih. Namun, pasca reformasi dan masuknya era desentralisasi, tantangan internal mulai muncul.

Konsolidasi kader terganggu oleh friksi antar kelompok. Regenerasi kepemimpinan tidak berjalan optimal, dan konflik internal menjadi momok yang merongrong soliditas partai. Basis massa tradisional yang dulu loyal, mulai beralih ke partai-partai baru yang lebih adaptif, seperti NasDem dan Gerindra. Golkar mulai tampak kehilangan arah dan kesulitan menghadirkan figur pemersatu yang kuat.

Kondisi ini semakin kompleks pada era Syahrul Yasin Limpo (SYL), yang memimpin Sulsel sebagai Gubernur dua periode dan menjadi figur dominan di tubuh Golkar. Ia memiliki pengaruh besar, tetapi juga menghadapi tantangan ketika kepemimpinannya digantikan oleh Nurdin Halid yang ditunjuk oleh DPP.

Pergeseran ini memicu friksi internal dan memperlemah struktur partai. Meski SYL tetap dihormati sebagai tokoh senior, konflik dengan kubu DPP memperlihatkan kurangnya mekanisme penyelesaian konflik yang sehat di tubuh Golkar.

Setelah era SYL, Taufan Pawe yang merupakan Wali Kota Parepare, diangkat menjadi Ketua DPD I Golkar Sulsel. Namun, bukannya memperkuat partai, kepemimpinan Taufan justru memicu berbagai ketegangan baru.

Musyawarah Daerah (Musda) Golkar pada 2020 meninggalkan luka akibat tidak tuntasnya proses formatur. Banyak kader senior dan junior merasa diabaikan. Muncul gerakan mosi tidak percaya, laporan antar elite, dan ketidakpuasan dari berbagai pihak. Konflik ini berlanjut hingga muncul wacana Musda Luar Biasa (Musdalub).

Dalam Pemilu 2024, Golkar Sulsel gagal mencapai target yang dicanangkan oleh Taufan Pawe. Partai ini memang menambah kursi di DPRD Sulsel dari 13 menjadi 14, tetapi gagal merebut kursi Ketua DPRD. Bahkan, jumlah kursi DPR RI yang sebelumnya empat, turun menjadi tiga. Hal ini menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam strategi politik dan komunikasi partai. Elektabilitas Golkar di Sulsel menurun karena publik tidak lagi melihat arah yang jelas dari kepemimpinan partai. Dalam konteks inilah, harapan terhadap kembalinya Ilham Arief Sirajuddin (IAS) menjadi sangat relevan.

IAS bukan sosok baru dalam dunia politik Sulsel. Dua periode memimpin Kota Makassar, ia dikenal sebagai pemimpin yang tegas, inovatif, dan dekat dengan rakyat. Dalam berbagai kesempatan, IAS selalu menunjukkan konsistensinya dalam menjaga integritas dan moralitas politik. Meski tidak berada dalam struktur formal Golkar saat ini, ia tetap aktif memberikan edukasi politik, membina komunikasi dengan masyarakat, dan menjaga jaringan sosial-politiknya.

IAS memiliki kemampuan unik untuk merangkul semua faksi dalam tubuh partai. Ia mampu menjadi jembatan antara kader senior dan junior, antara pusat dan daerah, antara tradisi dan inovasi. Dalam situasi fragmentasi seperti sekarang, Golkar membutuhkan figur pemersatu yang tidak sekadar kuat secara politik, tetapi juga dihormati secara moral. IAS adalah salah satu sedikit tokoh yang masih memiliki kharisma dan kepercayaan yang tinggi dari akar rumput hingga elite partai.

Kekuatan IAS tidak hanya pada rekam jejak masa lalu, tetapi juga pada kemampuannya menatap masa depan. Ia memahami dinamika politik digital, pentingnya pendekatan inklusif, dan perlunya pendidikan politik yang mencerahkan. Dalam banyak kegiatan sosial, IAS hadir tanpa membawa kepentingan kekuasaan. Ia menunjukkan bahwa politik adalah soal pengabdian, bukan sekadar perebutan jabatan.
Partai Golkar Sulsel memerlukan revitalisasi menyeluruh.

Dibutuhkan pemimpin yang dapat mengembalikan kejayaan partai dengan membangun kepercayaan publik, merekonstruksi sistem kaderisasi, dan menciptakan ruang dialog yang terbuka antar kader. IAS memiliki semua modal itu. Ia bukan hanya simbol masa lalu, tetapi juga harapan masa depan.

Kini, para kader dan simpatisan Golkar menaruh harapan besar agar IAS bersedia kembali menakhodai partai ini. Mereka percaya bahwa di bawah kepemimpinan IAS, Golkar dapat kembali menjadi partai besar yang dicintai rakyat. Kembalinya IAS bukan sekadar solusi internal, tetapi juga strategi besar untuk menghadapi tantangan politik ke depan.

Mengapa Butuh Sosok IAS?

Dalam konteks inilah, harapan terhadap kehadiran kembali Ilham Arief Sirajuddin sebagai nahkoda Golkar Sulsel menjadi sangat relevan. IAS bukan figur baru dalam tubuh partai. Ia adalah kader tulen yang meniti karier politik dari bawah, memahami kultur partai, dan memiliki akar yang kuat di tengah masyarakat.

Saat menjabat Wali Kota Makassar dua periode (2004–2014), IAS dikenal sebagai pemimpin yang progresif dan inovatif. Di bawah kepemimpinannya, Kota Makassar mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang stabil, perbaikan pelayanan publik, serta berbagai inovasi tata kelola pemerintahan.

Selain rekam jejak teknokratis yang mumpuni, IAS juga dikenal memiliki kemampuan konsolidasi yang luar biasa. Ia mampu merangkul semua golongan tanpa menciptakan konflik horizontal. Hal ini sangat penting bagi Golkar Sulsel yang tengah dilanda fragmentasi. Figur IAS diyakini mampu menjahit kembali harmoni internal partai serta menghidupkan semangat kolektif kader di semua level. Yang lebih penting, IAS hadir sebagai figur pemimpin yang memiliki narasi, bukan sekadar manuver.

Ia mampu menyampaikan gagasan secara sistematis, menggerakkan kader dengan pendekatan ideologis, serta membangun komunikasi politik yang efektif dengan kelompok muda maupun senior. Dalam era politik yang serba cepat, keunggulan ini menjadi nilai strategis tersendiri.

Lemahnya Golkar Sulsel Saat Ini

Kelemahan Golkar Sulsel saat ini terletak pada minimnya figur perekat yang bisa menyatukan kekuatan lintas generasi dan faksi. Konflik elit seringkali membayangi agenda-agenda organisasi. Konsolidasi akar rumput berjalan lambat, bahkan dalam beberapa pilkada, struktur partai tampak pasif dan tidak terkoordinasi dengan baik. Di sisi lain, partai-partai lain seperti NasDem, Gerindra, dan PKS berhasil memanfaatkan celah ini untuk menguatkan basis elektoral mereka di Sulsel.

Tidak hanya itu, kaderisasi di internal Golkar Sulsel juga belum mencerminkan transformasi ideologis dan regenerasi yang sehat. Banyak kader muda yang potensial justru merasa kehilangan ruang untuk berkembang karena dominasi struktural yang tidak inklusif.

Di sinilah pentingnya kehadiran IAS sebagai mentor dan fasilitator perubahan. Pengalaman dan jaringan IAS di tingkat nasional akan membuka peluang lebih luas bagi kader muda untuk tampil dan berkembang.

Kepemimpinan Visioner dan Berbasis Nilai

IAS bukan sekadar administrator, tetapi pemimpin yang memiliki visi besar dalam membangun institusi politik yang kuat. Ia memahami bahwa keberhasilan partai politik tidak hanya ditentukan oleh jumlah kursi di parlemen, tetapi juga oleh kualitas kader, kedekatan dengan rakyat, dan kontribusi nyata terhadap pembangunan daerah. Dalam berbagai kesempatan, IAS menekankan pentingnya integritas, loyalitas, dan pengabdian dalam berpolitik.

Dengan gaya komunikasi yang terbuka dan pendekatan yang merakyat, IAS berhasil membangun citra politik yang bersih dan inklusif. Ia tidak pernah lelah turun ke lapangan, berdialog dengan rakyat, menyerap aspirasi, dan memberikan inspirasi. Bahkan tanpa jabatan struktural, IAS tetap hadir di tengah masyarakat sebagai pendidik politik dan agen perubahan.

Jalan Terjal Menuju Konsolidasi

Membangun kembali kejayaan Golkar Sulsel bukanlah pekerjaan mudah. Diperlukan komitmen kuat, kesabaran, dan strategi jangka panjang. IAS memahami bahwa kekuatan partai harus dibangun dari bawah, dimulai dari konsolidasi internal, pembenahan struktur, hingga pembukaan ruang partisipasi seluas-luasnya bagi kader muda dan perempuan. Ia memiliki pemahaman mendalam tentang bagaimana bekerja dengan elite lokal, tokoh adat, dan komunitas akar rumput.

Dengan pengalaman birokrasi dan keterlibatan dalam politik praktis selama lebih dari dua dekade, IAS memiliki modal kuat untuk memimpin konsolidasi ini. Ia bukan tipe pemimpin instan yang hanya populer di media, melainkan pekerja politik sejati yang mengerti pentingnya kerja sistematis dan terukur.

Harapan dan Doa untuk Golkar Sulsel

Kini, di tengah arus besar perubahan politik nasional dan lokal, Golkar Sulsel memerlukan arah baru yang lebih visioner dan membumi. Para kader, simpatisan, dan masyarakat luas merindukan kepemimpinan yang tidak hanya kuat secara struktural, tetapi juga kokoh dalam nilai dan konsistensi. IAS adalah harapan itu. Ia bukan hanya bagian dari sejarah Golkar Sulsel, tetapi juga masa depan yang sedang ditunggu.

Semoga para pemilik mandat di internal partai memberikan ruang yang jujur dan demokratis bagi IAS untuk membuktikan pengabdiannya. Dan semoga kita semua, sebagai bagian dari masyarakat politik, turut serta mengawal proses ini dengan bijak dan penuh integritas.

Dengan doa dan harapan yang tulus, mari kita songsong masa depan Golkar Sulsel yang lebih cerah, kuat, dan membanggakan, bersama Ilham Arief Sirajuddin di garis depan kepemimpinan.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan