FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pegiat media sosial, Jhon Sitorus, mempertanyakan keseriusan Kejaksaan Agung dalam menangani dugaan mega korupsi di tubuh PT Pertamina yang nilainya disebut-sebut mencapai hampir Rp1.000 triliun.
Jhon melontarkan kritik pedas kepada institusi penegak hukum itu, yang hingga kini belum menunjukkan perkembangan signifikan terkait pengusutan kasus tersebut, khususnya dalam upaya menangkap buronan Riza Chalid.
“Apakah Kejagung mulai masuk angin?," kata Jhon di X @jhonsitorus_19 (9/6/2025).
Ia menyinggung bahwa sejak pengungkapan kasus tersebut beberapa bulan lalu, Kejaksaan Agung masih berada pada tahap pemantauan lokasi keberadaan Riza Chalid, tanpa kejelasan langkah konkret untuk membawa yang bersangkutan ke meja hijau.
“Udah berbulan-bulan sejak Korupsi Pertamina hampir Rp1.000 Triliun diumumkan, Kejaksaan masih dalam tahap memonitor keberadaan Riza Chalid. Kalau memonitor terus, lalu kapan eksekusinya?” tanya Jhon.
Jhon kemudian mengingatkan agar penanganan perkara ini tidak berhenti hanya sebagai sensasi awal semata.
“Jangan kencang diawal tapi kempes diakhir,” tandasnya.
Sebelumnya, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Prof. Mahfud MD, mengomentari lambannya perkembangan kasus dugaan korupsi besar di Pertamina.
Ia menyebut penanganan kasus tersebut yang sempat digembar-gemborkan Kejaksaan Agung kini terkesan berhenti total.
Dalam videonya yang viral, Mahfud menyinggung bagaimana semangat awal penegakan hukum yang diumumkan secara terbuka kini tak lagi terlihat tindak lanjutnya.
"Kasus yang sekarang aja, Pertamina yah, wah kita kan bangga sekali yah, Kejagung (bilang) kita sikat sampai ke atas, tidak berhenti sampai di sini. Berhenti sekarang. Nda ada pergerakan," ujar Mahfud dikutip pada Minggu (8/6/2025).
Ia juga mengingatkan bahwa sebelumnya bahkan sempat disebutkan nama-nama yang akan menjadi target penindakan, namun hingga kini tidak ada kabar lanjutan.
"Padahal dulu sudah nyebut nama orang, ini nanti ditarget, gak ada sekarang," lanjutnya.
Mahfud menduga ada kekuatan besar yang menghambat proses hukum dalam kasus tersebut, bahkan bukan hanya dari institusi penegak hukum semata.
"Berarti kan ada hambatan di situ, bukan hanya Polri hambatannya, mungkin semua kekuatan oligarki besar, jaringan besar, sehingga Presiden merasa ini perlu TNI yang turun. Mungkin yah," imbuhnya.
(Muhsin/fajar)