FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan akan melakukan peninjauan ulang terhadap persetujuan lingkungan milik empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Langkah ini diambil berdasarkan pertimbangan prinsip kehati-hatian ekologis serta merujuk pada sejumlah putusan hukum yang melarang pertambangan di pulau kecil.
Dalam konferensi pers di Jakarta pada Minggu (8/6/2025), Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq menegaskan bahwa peninjauan tersebut mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ia juga menyebutkan dua putusan penting, yakni Putusan Mahkamah Agung dan Putusan Mahkamah Konstitusi, yang dengan tegas melarang aktivitas tambang di pulau kecil tanpa pengecualian.
Selain proses peninjauan ulang, KLHK juga telah memulai penegakan hukum terhadap dua perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran, yakni PT ASP dan PT MRP. Kedua perusahaan ini dinilai telah menyebabkan kerusakan lingkungan di kawasan pulau-pulau kecil Raja Ampat.
Hanif menyebut PT ASP melakukan aktivitas penambangan di Pulau Manuran tanpa menerapkan manajemen lingkungan yang memadai. Akibatnya, ditemukan pencemaran di wilayah pesisir, termasuk kekeruhan air laut yang tinggi.
“PT ASP ditemukan melakukan kegiatan pertambangan tanpa manajemen lingkungan yang memadai, menyebabkan pencemaran air laut dan kekeruhan tinggi di pantai,” ungkap Hanif.
Ia menambahkan bahwa hingga saat ini dokumen lingkungan PT ASP masih dikeluarkan oleh Bupati Raja Ampat dan belum diterima oleh KLHK.
“Kami akan minta dokumen itu untuk direview karena terbukti terjadi pencemaran serius. Bahkan, sistem pengelolaan lingkungannya belum tersedia,” ujarnya.
Pelanggaran serupa juga ditemukan di tambang milik PT KSM yang berlokasi di Pulau Kawei dan PT MRP di Pulau Manyaifun. PT KSM diketahui telah membuka lahan seluas lima hektare di luar wilayah izin pinjam pakai, sementara PT MRP baru memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan belum mengantongi dokumen lingkungan. Kegiatan di kedua lokasi ini telah dihentikan oleh KLHK.
“Kami menemukan adanya pembukaan lahan seluas 5 hektare di luar izin yang diberikan di PT KSM, dan ini sudah kami catat sebagai pelanggaran persetujuan lingkungan. Sementara PT MRP bahkan belum memiliki dokumen apa pun selain IUP. Karena berada di pulau kecil dan dalam kawasan lindung, akan sangat sulit bagi kami memberikan persetujuan lingkungan,” terang Hanif.
Sementara itu, kegiatan tambang oleh PT GAG Nikel yang beroperasi di Pulau Gag dinyatakan masih sesuai dengan ketentuan hukum. Hanif menjelaskan bahwa perusahaan tersebut merupakan salah satu dari 13 entitas yang dikecualikan dari larangan aktivitas tambang di kawasan hutan lindung berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2004.
Hasil pengawasan KLHK menunjukkan bahwa PT GAG Nikel telah memenuhi standar pengelolaan lingkungan.
“Pulau Gag adalah kawasan yang sensitif secara ekologis. Meski secara hukum GAG Nikel memiliki semua izin, kehati-hatian tetap wajib diterapkan,” tandas Hanif.
(Wahyuni/Fajar)