Ormas Besar Bungkam Soal Tambang Raja Ampat, Jhon Sitorus Bilang KWI Satu-satunya yang Masih Waras

  • Bagikan
Pegiat media sosial Jhon Sitorus

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pegiat media sosial Jhon Sitorus menyampaikan apresiasi kepada Uskup Timika serta Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang dinilainya tegas dalam menyuarakan penolakan terhadap izin tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

“Bangga dengan Uskup Timika yang berani dan tegas menyuarakan nasib Raja Ampat,” kata Jhon di X @jhonsitorus_19 (10/6/2025).

Kata Jhon, KWI merupakan salah satu organisasi keagamaan yang konsisten menolak kebijakan pertambangan di wilayah yang dikenal sebagai surga wisata dunia itu.

Ia menilai sikap tersebut patut dihormati dan dijadikan teladan oleh berbagai elemen masyarakat.

“KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) adalah salah satu ormas agama yang tegas menolak izin tambang dari Jokowi,” tandasnya.

Dukungan moral dari tokoh agama dan organisasi keagamaan terus mengalir, seiring dengan sorotan tajam terhadap keberadaan tambang nikel di Pulau Gag yang dinilai mengancam ekosistem Raja Ampat yang rapuh.

“Terima kasih telah konsisten bersikap, patut diapresiasi,” Jhon menuturkan.

Sebelumnya, salah satu pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Fahrur, diketahui menjabat sebagai komisaris di PT Gag Nikel, perusahaan tambang yang dituding merusak ekosistem alam di kawasan wisata Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Aktivis lingkungan Roy Murtadho pun mempertanyakan kesesuaian jabatan tersebut dengan prinsip dan nilai yang selama ini diusung oleh PBNU.

"Salah seorang pimpinan PBNU, Gus Fahrur jadi komisaris PT Gag Nikel yang merusak ekosistem Raja Ampat Papua. Bukannya ini bertentangan dengan tagline PBNU hari ini, Merawat jagat membangun peradaban?," kata Roy di X @MurtadhoRoy (9/6/2025).

Ia menilai bahwa keberadaan pejabat tinggi ormas Islam terbesar itu di perusahaan tambang justru menunjukkan kontradiksi dengan semangat pelestarian lingkungan yang selama ini digaungkan.

"Emang ada merawat jagat dengan merusak lingkungan?," timpalnya.

Roy juga menyinggung berbagai inkonsistensi internal yang menurutnya kini sedang membayangi tubuh PBNU.

Ia menyoroti keterlibatan PBNU dalam sektor industri ekstraktif yang memiliki dampak besar terhadap krisis iklim global.

"Terus terang, PBNU sekarang ini banyak kontradiksi internal. Salah satunya, mau merawat jagat dan bangun peradaban, tapi nerima tambang batubara yang menyumbang 46 persen emisi karbon global. Di tambah sekarang salah satu pimpinannya jadi komisaris nikel," sebutnya.

Kata Roy, hal ini menjadikan PBNU secara institusional turut serta dalam praktik perampasan sumber daya alam dan kerusakan ekosistem.

“Ini namanya PBNU terlibat langsung dalam apropriasi atau penjarahan alam, perluasan geografi penghancuran ruang hidup, dan akumulasi primitif,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa posisi ini secara prinsip berlawanan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang mengedepankan keberlanjutan dan keselamatan semesta.

“Ini secara prinsip bertentangan dengan visi Islam yang menyelamatkan,” tandasnya.

Roy kemudian mempertanyakan apakah PBNU masih bisa bersikap objektif dan kritis terhadap praktik perusakan lingkungan, apabila secara struktural sudah berada dalam lingkaran kekuasaan dan ekonomi ekstraktif.

“So, apa iya PBNU akan bisa bersikap kritis dengan posisinya saat ini?” pungkasnya.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari PBNU maupun pihak Gus Fahrur terkait tudingan tersebut.

(Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan