Oleh: Kasri Riswadi
Ketua Yayasan Masyarakat Peduli Tuberkulosis (Yamali TB)
Belakangan ini, kita diramaikan dengan pembicaraan soal uji klinis tahap 3 vaksin TBC. Isu itu mencuat setelah diketahui adanya kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Yayasan Bill & Melinda Gates yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara tempat berlangsungnya uji klinis ini. Sontak hal tersebut menimbulkan kontroversi. Alih-alih dianggap sebagai langkah maju, sebagian masyarakat justru merasa curiga. Dari stigma “kelinci percobaan”, motif ekonomi industri farmasi, gerakan anti-vaksin, hingga teori konspirasi tentang pengurangan populasi melalui vaksinasi. Di linimasa media sosial bahkan sempat tersiar hoax bahwa vaksin TBC akan menjadi syarat penerbangan atau naik pesawat.
Asumsi dan ketidakpercayaan ini tentu bukan tanpa alasan. Situasi global dan berbagai kebijakan publik yang seolah selalu membenerakan skeptisisme banyak pihak memperkeruh hal itu. Tak heran, sebagian orang langsung menolak mentah-mentah setiap program yang menyentuh langsung tubuh mereka, termasuk vaksin TBC. Padahal kita perlu melihat ini secara lebih utuh untuk tidak terjebak dalam keramaian opini dan asumsi liar tentang vaksin yang dinamai M72 tersebut.
TBC dan Persoalannya
Kita perlu memahami terlebih dahulu bahwa TBC merupakan penyakit klasik yang telah eksis sejak ditemukan pada 24 Maret 1882. Meskipun sudah ada pengobatannya, ia masih tetap mengancam, terlebih di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Merujuk laporan World Health Organization (WHO) Global TB tahun 2024, diperkirakan estimasi pengidap TBC di Indonesia mencapai 1.090.000 kasus dan 125.000 kematian setiap tahun, yang berarti ada sekitar 14 kematian setiap jamnya. Data Kemenkes tahun 2024, ditemukan sekitar 885 ribu kasus, dengan distribusi yang menunjukkan bahwa 496 ribu kasus terjadi pada laki-laki, 359 ribu pada perempuan, serta 135 ribu kasus pada anak-anak usia 0-14 tahun. Statistik ini menegaskan urgensi peningkatan upaya pencegahan dan pengobatan di seluruh wilayah Indonesia.
Selain pengobatan, sebenarnya selama ini kita juga telah dibekali dengan vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) yang menjadi satu-satunya vaksin TBC yang tersedia. Hanya saja Vaksin ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1921 dan umumnya efektif diberikan kepada bayi atau anak-anak untuk mencegah bentuk TBC yang parah. Sayangnya, seiring bertambahnya usia, perlindungan dari vaksin ini menurun. Orang dewasa pun menjadi kelompok yang lebih rentan tertular TBC. Data Kemenkes menunjukkan bahwa kelompok usia produktif (25–45 tahun) justru menjadi penyumbang kasus TBC terbanyak. Inilah alasan utama mengapa dunia butuh vaksin TBC yang lebih efektif untuk orang dewasa. Vaksin baru ini pun bukan dikembangkan dalam semalam. Prosesnya sudah dimulai sejak awal tahun 2000. Indonesia sebagai negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia tentu punya peran dan andil dalam mendukung solusi global. Salah satunya dengan berpartisipasi dalam uji klinis vaksin.
Satu di antara Vaksin TBC yang dikembangkan
Penting diketahui bahwa saat ini ada sekitar 17 kandidat vaksin TBC yang juga tengah dikembangkan di dunia. Salah satu yang menjanjikan adalah vaksin M72, yang didanai oleh Bill & Melinda Gates Foundation. Vaksin ini pun sudah masuk uji klinis tahap 3 dengan total 20.081 partisipan dari lima negara. Afrika Selatan menyumbang jumlah partisipan terbanyak, disusul Kenya, Indonesia, Zambia, dan Malawi. Indonesia sendiri melibatkan sekitar 2.095 orang dalam uji klinis ini.
Belajar dari vaksinasi Covid-19 yang masih segar dalam ingatan, kita pun mesti bijak memahami bahwa semua vaksin termasuk vaksin M72 ini harus melewati tahapan panjang sebelum bisa digunakan secara lebih luas. Dimulai dari uji coba di laboratorium dan pada hewan (tahap pra-klinis), dilanjutkan dengan tiga fase uji klinis pada manusia. Semua tahapan ini diawasi ketat oleh lembaga pengawas di masing-mas ing negara, seperti BPOM di Indonesia. Tak satupun vaksin bisa langsung diberikan tanpa izin resmi dan pengawasan ketat.
Harapan Bukan Percobaan
Akhirnya, sebagai masyarakat semoga kita dapat memahami proses ini secara lebih bijaksana dengan tidak termakan opini dan asumsi liar tentang uji klinis vaksin M72. Sebab prosesnya pun telah berjalan dengan sukarelawan yang sesuai kualifikasi dan dilindungi asuransi jika terjadi efek samping selama penelitian. Mereka adalah orang-orang yang ingin menjadi bagian dari solusi, membantu jutaan hingga milyaran orang lainnya agar kelak bisa terlindungi dari TBC. Maka dari itu, hentikanlah umpatan “Kelinci percobaan” itu dan kita sambut mereka sebagai pahlawan kemanusiaan.
Harapan kita ke depan, semoga pemerintah bisa terus bersikap terbuka dan jujur dalam menginformasikan perkembangan vaksin ini. Transparansi adalah kunci agar masyarakat lebih percaya dan lebih siap menerima manfaat besarnya. Pada akhirnya, sekali lagi ini bukan soal percobaan melainkan soal harapan. Harapan agar kelak suatu saat nanti, kita hidup di dunia yang bebas dari TBC. (*)